Oleh: Nita Zakiyah
A. Pendahuluan
Sastra merupakan salah satu cabang
kesenian yang di ungkapkan dengan media bahasa, telah berada di tengah-tengah
peradaban manusia dan di terima sebagai suatu realitas sosial budaya sejak ribuan
tahun yang lalu. Sepanjang perjalanannya sastra mengalami perkembangan dari
masa ke masa. Sastra itu sendiri tidak hanya mengandung nilai-nilai budi,
imajinasi, dan emosi tetapi telah di anggap suatu karya kreatif yang hidup
dalam suatu masyarakat baik hanya di manfaatkan oleh suatu komunitas tertentu
maupun berbagai golongan (masyarakat luas) sebagai konsumsi intelektual di
samping konsumsi emosi(Semi, 1990:1)
Dalam perkembangan sastra modern,
kritik sastra memegang peranan yang sangat penting, tidak hanya sebagai usaha
menjembatani gagasan yang di sampaikan pengarang lewat teks sastra kepada
pembaca, tetapi juga memberi panduan untuk memahami karya sastra(Mahayana, 2005:
219), agar sistem sastra bisa berfungsi sebaik-baiknya.
Dzikir-dzikir cinta -selanjutnya
disingkat DDC- merupakan potret romantisme di pesantren, sangat menarik untuk
menjadi bahan kritik sastra, karena terdapat keberanian penulis memotret sisi
lain pesantren, mengungkap yang tidak terungkap, terselubung dan tabu untuk
dibicarakan di lingkungan pembentuk generasi agamis seperti pesantren. Sebuah
romantisme, istilah yang erat dengan dominasi rasa, dan berbagai peristiwa di
susun secara dramatis, hanya memberi sedikit tempat pada rasio untuk berperan. Akan
tetapi Romantisme yang di maksud disini bukan sebuah aliran, namun kisah
romantis yang terjadi di kalangan santri, perasaan cinta yang mengharu biru.
Meski romantisme sangat di tonjolkan, namun sarat dengan pesan-pesan moral, disampaikan
dengan beragam cara yang mudah di tangkap oleh pembaca. Walau pada akhirnya
penelaah menggunakan salah satu aliran sastra ini sebagai pisau analisis.
I. Latar
Belakang Masalah
Pesantren merupakan lembaga yang
menjadi rujukan nilai dan etika, sejak awal kelahirannya menyimpan misi dari
para ulama terdahulu yang di antaranya mentransmisikan islam tradisional sebagaimana yang terdapat
dalam kitab-kitab klasik yang di tulis berabad-abad yang lalu (Bruinessen:
1995: 17). Ilmu yang bersumber dari kitab klasik, dianggap sesuatu yang statis,
tidak dapat di sentuh, kalaupun itu terjadi, hanya untuk diperjelas dan
dirumuskan kembali dengan kandungan yang tidak berbeda. Demikian salah satu
contoh kekakuan tradisi yang menyelimuti
dunia pesantren. Meski di era kini, terdapat dua jenis pesantren baik salafiyah
yang bercorak tradisional baik dari sisi kitab yang di pelajari hingga system
belajar mengajar santri, dan khalafiyah yang menggunakan corak modern
pada sisi-sisinya termasuk pada kitab yang di pelajari dan berbagai sistemnya.
Berkaitan dengan novel yang akan di telaah (DDC), mengekspresikan
realitas pesantren salafiyah yang kental dengan tradisi, selain itu, yang
mendominasi dari DDC, yaitu ungkapan sisi lainnya, romantisme di dunia
pesantren yang tidak jarang melanda antara sesama santri, terutama bila letak
pesantren putra berdekatan dengan pondok putri. Fenomena tersebut bukan hanya
isapan jempol saja, akan tetapi realitas
yang tidak jarang terjadi di pesantren. Salah satu penyebabnya adalah
peraturan yang di buat dengan rapat, justru kerap membuat santri mencari celah.
Larangan yang terlalu ketat, pada akhirnya justru menghilangkan ketakdziman
terhadap larangan itu sendiri. Karena pada hakikatnya manusia itu makhluk yang
“merdeka”.
II. Rumusan
Masalah
Sebagaimana sudah di singgung sebelumnya, DDC
menggambarkan sisi lain dari pesantren, “interaksi-eksotis” yang tabu untuk di
ungkap khususnya.
Meski karya sastra merupakan gambaran dari pengalaman pribadi ataupun
suatu masyarakat, tak akan sama persis dengan keadaan masyarakat yang
sebenarnya karena sebuah dunia dalam suatu cerita itu sudah mengalami beberapa
fase yang meliputi beberapa proses penghayatan, penafsiran dan pemaknaan.
Kemudian baru dituangkan dalam susunan-susunan kata yang di bumbui dengan
imajinasi (Mahayana, 2005: 336). Akan tetapi, kejujuran penulis dalam
menuangkan peristiwa tidak dapat di nafikan begitu saja.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di dunia pesantren? Apakah telah
terjadi kelonggaran tradisi, dan pesantren merupakan salah satu tempat yang
tidak terlewatkan oleh budaya barat, sebagaimana yang terjadi di masyarakat
Indonesia pada umumnya? serta sejauh manakah, novel ini mencerminkan kehidupan
pesantren, khususnya fenomena romantisme di dalamnya?. Persoalan yang akan coba
di jawab dengan pijakan berbagai sumber. Meski karena beberapa faktor alasan, penalaah
di sini tidak merincinya secara detail.
B. Landasan
Teori.
Sebagaimana dalam sejarah kritik dan
teori sastra, terdapat salah satu pendekatan sosiologi untuk memahami karya
sastra. Karya sastra disini dipahami sebagai karya yang tidak hadir begitu saja
sehingga menafikan latar belakang sastra itu sendiri, akan tetapi adanya
keterkaitan dengan semesta dimana karya itu lahir, ia berupa potret kehidupan
sang sastrawan itu secara khusus, maupun masyarakat secara umum, serta merupakan
hasil hubungan diakletis antara sastrawan dan realitas objektif, seperti
kondisi sosial, budaya, dan politik yang berada di sekitarnya.(islam, Telaah
sosiologi sastra: 1). Kendati demikian, sastra menurut Endraswara tetap di akui
sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan (kamil , Tulisan&Himpunan
makalah bahan kuliah: 78) yang dapat dinikmati oleh pembaca, di fahami dan di
manfaatkan (Sapardi, 2002: Makalah Bahan Kuliah).
Selain melalui landasan sosiologi,
kritik sastra ini juga menggunakan pendekatan melalui aliran romantisme. Sebuah
aliran yang beraktualisasi pada pengungkapan rasa, dimana realitas kehidupan
dilukis dalam bentuk yang indah dan halus, serta setiap konflik baik bahagia
maupun sebaliknya, disusun secara detail dan dramatis, dengan tujuan utama,
menyentuh dan mengguncang emosi pembaca (Kamil: Tulisan&Himpunan makalah
bahan kuliah: 33).
Pada zaman romantik, karya sastra
dipahami sebagai ekspresi, peluapan atau ungkapan perasaan pengarangnya atau
sebagai hasil imajinasi pengarangnya yang mengurai pandangan, pemikiran, dan
perasaannya(Yapi Taum, 1997: 25), kemudian karya tersebut lahir dari jiwa yang
jernih dan rasa yang tajam.
C. Sejarah
Hidup Pengarang
Anam Khoirul Anam, lahir di Ngawi,
26 juni 1982. Tumbuh dan besar di sebuah kampung daerah pegunungan. Ketika
kecil pernah bercita-cita menjadi ABRI, namun sekedar cita-cita anak kecil yang
kemudian terkubur dengan iringan waktu. Ia seorang yang familiar, menjadikannya
sangat lentur; cakap dan mudah bergaul dengan siapa saja.
Penulis novel best seller ini
banyak menimba ilmu di pesantren tradisional (salafy) sejak jenjang
pendidikan menengah (tsanawiyah), dan menempuh studi di MAN 2 Madiun
angkatan 1999. Kemudian melanjutkan program studi di fakultas Tarbiyah
(D2) UII Madiun, setelah tamat, di tahun 2003 ia meneruskan studi S1-nya di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Fakultas Adab, jurusan bahasa dan sastra Arab hingga
sekarang. Sejak berstatus sebagai mahasiswa UIN ia tinggal di salah satu pondok
pesantren salafy di yogya. Hingga lahirlah karya ini sebagai cerminan
hidupnya di pesantren.
Di samping itu ia aktif di Lembaga
“KUTUB”. DDC merupakan karya perdananya yang berbentuk novel, namun
karya-karyanya yang lain telah dipublikasikan antara lain di: Jawa Pos,
Seputar Indonesia, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Surya, Bulletin Savior dll.
Prestasi yang pernah di raihnya yaitu pernah menjadi juara III dalam lomba
puisi se-UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta (2005)
D. Ringkasan
Cerita (sinopsys)
Sebelum menceritakan ringkasan
cerita, karena substansi dari novel ini begitu kompleks, maka hanya di batasi
pada peristiwa yang berkisar pada kisah romantisme di dunia pesantren.
Adapun tokoh pada novel ini
menampilkan kiayi Mahfudz, pengasuh pondok pesantren yang merupakan salah satu
latar terjadinya peristiwa, serta putrinya Fatimah. Dan Kiayi Muhsin, sosok
kiayi Muhsin tidak hadir secara langsung dan berperan dalam novel ini, akan
tetapi hadir sebagai sosok sahabat kiayi Mahfudz ketika sama-sama masih
berstatus sebagai santri, di sini kiayi Mahfudz sebagai pencerita kisah
perjuangan cinta sahabatnya yang mencintai putri kiayi, Aisyah, dan tidak
mendapatkan restu dari sang kiayi- ayah, sekaligus guru pesantren. Oleh karena
itu hukuman demi hukuman ia jalani di sebabkan cinta terlarang yang di jalani.
Kisah pilu dua sejoli yang teringkari oleh etika, terberangus hingga mereka tak
berdaya. Cinta yang terbungkus norma, religi dan karisma dalam penjara suci. Dan
puncak dari hukuman yang diterimanya serta membuat kiayi naik pitam ia harus
mengasingkan diri di bukit selama 40 hari, dan setiap harinya harus membaca
surat At-taubah, ketika di sebuah gudang nan sepi, kiayi menemukan dirinya dan
Aisyah sedang asyik masyuk berdua dalam keadaan bibir yang beradu, desah-desah
peluh bercampur nafsu, bermandian, berkejaran dalam aliran darah, serta
mengalir dalam luapan rasa yang menggelora. Sedangkan Aisyah diberi hukuman dengan
dipingit didalam rumah, Setelah selesi dari masa ta’dzir, Muhsin muda
mencoba melamar Aisyah namun ditolak kecuali bila ia mampu memenuhi syarat
untuk menguasai berbagai ilmu agama, hingga melebihi kiayinya, sejak itu ia
angkat kaki dari pondok dan “melahap” berbagai ilmu, lantas dengan kehendak
Nya, cinta mereka dapat bersatu karena Muhsin kembali dan membuktikan
kesungguhan cintanya. Kekuatan cinta yang dilandasi dengan ketulusan karena
Allah semata.
Juga menghadirkan sosok Rusli, ‘mantan’ santri kiayi muhsin yang kemudian
pindah ke pondok kiayi mahfudz atas arahan kiayi muhsin, dan Nikmah santriwati
dari Gus Mu’ali, lokasi pondoknya tidak jauh dengan pondok kiayi Mahfudz. Rusli
dan Nikmah mengalami kisah cinta yang tidak kalah tragis. Berpisah karena Rusli
yang menjadi abdi ndalem, di minta untuk menikahi putrinya Fatimah yang
secara diam-diam menyimpan hati padanya. Ia tak dapat menolaknya, dengan
membawa hutang budi pada sang kiayi di sertai rasa hormat yang tinggi serta
adanya unsur pengaruh dari kondisi sosial adat istiadat yang berlaku di
pesantren, pada kali ini ia tidak dapat berbuat apa-apa, walau hanya untuk
memperjuangkan cintanya, yang mampu ia lakukan hanya menyimpan cintanya pada
Sukma dalam peti emas dan menikah dengan putri kiayi. Ia telah menikah namun
tak mampu menepis cinta pada Sukma meski yang di sampingnya adalah Fatimah. Dan
karena ketulusan cintanya, ia dapat menikah dengan Sukma setelah Fatimah
meninggal setelah melahirkan anak pertama Rusli. Lantas setelah rentang waktu
yang tidak terlalu panjang Rusli meninggal dalam kecelakaan motor ketika ingin
mengisi pengajian, sedangkan Sukma pasca di tinggalkan oleh suaminya ia jatuh
sakit dan akhirnya meninggal bersama bayi yang ada dalam rahimnya. Pada ending
kisah ini di ceritakan bahwa mereka bertiga (Rusli, Fatimah dan Sukma) hidup
bahagia di alam lain.
Dan berbagai kisah aneh santri yang nyeleneh, baik santri yang
berhubungan dengan sesama (homoseks dan lesbi). Maupun bagi santri yang
memiliki ilmu hikmah yang supranatural, di dalam novel salah satunya dengan
nama ilmu ngerogoh sukma[1].
E. Analisis
Pada kesempatan kali ini, analisis
di sandarkan pada pendapat Laurenson dan Swingewood bahwa penelitian ini
mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya. Berpijak pada
teori, penulis novel memang berdomisili di lingkungan pesantren, sebagaimana
karya sastra yang tercipta, berlatar pesantren. Bahkan secara terus terang
penulis mengatakan bahwa karya yang ada di tangan penelaah kini(DDC) merupakan
sebagian dari kisah hidupnya. Keberanian
untuk mengungkap sisi lain pesantren. Tentunya tanpa menafikan peran pesantren
dalam pembentuk moral bangsa.
Di samping itu sastra sebagai cermin masyarakat, digunakan untuk melihat
refleksi masyarakat di dalamnya. Kisah yang ada dalam novel ini juga merupakan
refleksi dari kehidupan sehari-hari
santri dan merupakan kritik tajam yang seakan-akan meletakkan posisi santri
sebagai manusia biasa yang tidak di dalam jiwanya terdapat gejolak darah muda,
ingin mencintai dan di cintai. Di titik ini terdapat permainan romantisme yang
meliputi eksploitasi rasa ( العاطفة ), luapan rasa cinta yang di iringi dengan
kebahagiaan dan kesedihan. Tergambar pada ungkapan “ entah mengapa sehari
tanpa bias bayangmu, hari-hariku makin sunyi. Mati. Tak ada energi yang mampu
mendorongku untuk mengejar hari. Aku makin lemah tanpa hadirmu. Jiwa ini makin
meronta ketika sejengkal jarak mencoba pisahkan rasa kita”. Juga pada “ ada denyar-denyar bahagia
menusuk relung-relung hatinya, beriring letupan senyum antar keduanya.
Letupan-letupan rasa malu yang tak terkira. Keakraban dua insane yang telah di
mabuk cinta itu mulai tersulut. Rembulan
yang redup di angkasa biru seperti malu-malu menampakkan wajahnya. Biru,
sebiru cinta dalam hati mereka yang tengah di mabuk asmara”. Kisah bahagia
dan derita yang di susun dengan dramatis, di uraikan secara tuntas dan
sempurna. Juga khayal (الخيال)atau imajinasi dari penulis, merupakan
kemampuan menciptakan citra dalam angan-angan atau pikiran tentang sesuatu yang
tidak diserap oleh panca indera atau yang belum pernah dialami dalam kenyataan(Sudjiman,
1990: 36). Karya yang terpancar dari alam ide sang kreator, terletak pada ilmu
hikmah supranatural ngerogoh sukmo, ngerogoh sukmo dalam kisah ini hanya
berupa fiksi, namun ilmu-ilmu hikmah di dunia pesantren yang semacam itu, meski
tidak semua orang tahu, jumlahnya sangat banyak, dan tidak sedikit santri yang “ngamal”
ilmu hikmah dengan tujuan yang beragam.
Kembali pada tataran sosiologi sastra, karya yang berkisar kehidupan
pesantren ini lahir pada september 2006, mengenai tahun lahirnya karya ini juga
merupakan cermin dari sebuah zaman, bahwa pada tahun tersebut globalisasi yang
melanda negeri ini juga berimbas pada kehidupan di pesantren, walau masih
banyak nilai-nilai yang sama sekali tidak bergeser pada tempatnya, tapi santri
sebagai anak zaman tentu saja tidak akan sama dalam hal pemikiran dengan santri
generasi lalu, karena hidup di zaman yang berbeda. Contoh kecilnya, dewasa ini
banyak santri yang suka mendengarkan musik masa kini, baik beraliran pop, jazz,
dangdut, bahkan rock. Bukan hanya mendendangkan gambus, shalawat nabi dan
berbagai jenis aliran musik islami lainnya. Dari sini dapat dilihat modernisasi
juga menjalar pada kehidupan pesantren meski tidak “sebulat” pada generasi muda
non pesantren yang kehidupannya riilnya sudah di warnai dengan beragam imbas
dari globalisasi seperti gaya hidup sangat pragmatis, cair, hedonis, dan
buntutnya adalah konsumtif. Meski pengertian ini terlepas dari
generasi-generasi muda yang hingga saat ini tetap mempersiapkan dirinya
membangun negeri.
Berbeda bila DDC lahir sebelum tahun 1980, hal yang tidak mungkin terjadi.
Kajian tentang pesantren berkisar sebelum tahun 1980-an masih menjadi hal
langka sehingga keberadaannya masih sedemikian asing bagi perbincangan
sehari-hari. Konsekuensi logisnya saat kajian tentang pesantren menjadi hal
langka yang berakibat kurang dikenalnya pesantren di ranah masyarakat luas,
bagaimana jadinya bila isu yang lahir langsung berupa isu negatif. Kemungkinan
terbesarnya, pesantren akan mendapat cibiran masyarakat terutama di kalangan
masyarakat yang belum mengenal “sisi dalam” pesantren dan peran sertanya di
kancah perjuangan mempertahankan Negara kita tercinta.
Karya DDC mencerminkan kisah romantisme di pesantren, sebagaimana sudah
di singgung sebelumnya, dari mulai hubungan emosional rasa antar santriwan dan
santriwati yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebuah kontras memang. Di
dalam pondok pesantren memandang lawan jenis itu dilarang, apalagi mencintai.
Haram adalah bahasa orang pesantren. Zina. Dilarang mencintai santriwati, meski
boleh menyayangi. Hubungan cinta hanya dikenal dalam ikatan pernikahan.
Begitulah slogan yang di gembar gemborkan dalam dunia pesantren. Namun pada
hakekatnya, ada pergolakan batin disana. Ada usaha memunafiki kejujuran hati
yang hakiki di dalam pengkhianatan terhadap cinta.
Sebagaimana telah dibicarakan
sebelumnya bahwa dalam karya ini mengungkap sisi lain pesantren berdasarkan
keberanian dan kejujuran penulisnya, kisah-kisah tersebut memang fenomena yang
kerap terjadi pesantren. Namun pada hakikatnya dunia sastra adalah dunia
imajinatif, fakta dalam karya sastra pada hakikatnya fiksionalitas. Ia
merupakan hasil pencampuran antara pengalaman, imajinasi, kecendekiaan dan
wawasan pengarang. Dan pengalaman yang diperoleh pengaranga/penulis karya sastra
telah mengalami beberapa proses, meliputi perenungan, penghayatan, lalu di
evaluasi. Lantas dengan kemampuan imajinasi dan keluasan wawasan
pengetahuannya, pengarang mengungkapkan kembali dengan bahasa sebagai media.
Jadi, sejauh manapun karya sastra sebagai cermin memantulkan bias, cerita dalam
karya tersebut hanya menjadi sebuah dunia rekaan. Kesimpulannya meski terdapat
sisi-sisi nyata dari DDC, kisah nyata yang di alami lalu di ungkapkan kembali
oleh pengarang, namun hanya merupakan sebuah cerita yang sudah melalui beberapa
proses yang telah di sebutkan tadi, dan proses akhirnya melahirkan dunia rekaan
pengarang semata.
Adapun di sebabkan ruang lingkup santri yang semuanya laki-laki maupun
sebaliknya. Banyak terjadi hal yang tidak di inginkan, hubungan antar sesama yang
seharusnya tidak pernah boleh terjadi. Kisah ini juga beriringan dengan fakta
di lingkungan pesantren. Banyak kasus serupa terjadi, hanya saja bagi putri
kiayi yang mencintai khadam/abdi ndalem ayahnya itu jarang sekali
terjadi di dunia nyata. Meski tidak menutup kemungkinan bila hal itu terjadi.
F. Penutup
Demikianlah serangkaian kritik dan
analisis sebuah karya sastra melalui pendekatan sosiologi dan di lengkapi
dengan aliran romantis. Sangat di sadari masih terdapat banyak kesalahan maupun
ketidaksesuaian, untuk itu berbagai saran serta kritik yang membangun akan di
terima dengan sambutan hangat dan tangan terbuka.
Tak ada asa yang lebih tinggi, hanya
berharap semoga karya ini dapat bermanfaat untuk penganalisa sebagai pelajar dan
pemula khususnya, dan bagi pembaca umumnya.
Kepada bapak dosen dan untuk semua oknum
yang telah membantu hingga tugas ini selesai, saya haturkan beribu terima kasih
dan apresiasi yang tak terhingga.
G. Daftar
Pustaka
Anam, Anam
Khoirul, Dzikir-dzikir Cinta, Yogyakarta: Diva Press, 2007, cet. Ke-10.
Semi, M. Atar, Metode
Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, 1993, cet. Ke-1.
Bruinessen,
Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.
Mahayana, Maman
S., Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik, Jakarta:
Bening, 2005, cet. Ke-1.
Kamil, Sukron, Tulisan
Dan Himpunan Kritik Sastra Arab, Teori Klasik Dan Modern, Jakarta:
Fakultas Adab Dan Humaniora, 2004.
Damono, Sapardi
Djoko, Klasifikasi Dan Bagan Sosiologi Sastra, Makalah Bahan Kuliah, 2002.
Sudjiman,
Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Universitas Indonesia, 1990.
Yapi Taum,
Yoseph, Pengantar Teori Sastra, Flores: Nusa Indah, 1997, cet. Ke-1.
[1]
Ilmu dengan keluarnya ruh dari jasad, sehingga bisa menemui orang yang di
inginkan tanpa sepengetahuan siapapun(biasanya pada malam hari). Dengan
demikian orang yang “ngilmu” bisa berbuat apa saja terhadap korbannya termasuk berbuat mesum. Sedangkan orang yang
dalam keadaan tidur dan menjadi korban hanya merasa bahwa ia telah mimpi basah.
Aaslamulaikum, sebelumnya kami monta maaf. Jika tidak berkeberatan kami menginginkan data aslinya guna kami jadikan sebuah buku. dimana didalamnya berisi tentang kumpulan kajian ilmiah mengenai novel Dzikir-dzikir Cinta. Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi kami. aku Fb: Penerbit Pustaka Puitika. email: pustaka_puitika@yahoo.com
BalasHapuswa'alaikumslm wr wb.
BalasHapusini serius pak?, saya edit terlebih dahulu ya, karna ini tulisan lama. sepertinya dari sisi ejaan dll ada yg hrs diperbaiki. insya Allah saya kirim besok ke email yang antum cantumkan di atas. terimakasih.