Minggu, 10 Maret 2013

DZIKIR-DZIKIR CINTA (Potret Romantisme Di Pesantren)


                                           Oleh: Nita Zakiyah
 A. Pendahuluan
            Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang di ungkapkan dengan media bahasa, telah berada di tengah-tengah peradaban manusia dan di terima sebagai suatu realitas sosial budaya sejak ribuan tahun yang lalu. Sepanjang perjalanannya sastra mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sastra itu sendiri tidak hanya mengandung nilai-nilai budi, imajinasi, dan emosi tetapi telah di anggap suatu karya kreatif yang hidup dalam suatu masyarakat baik hanya di manfaatkan oleh suatu komunitas tertentu maupun berbagai golongan (masyarakat luas) sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi(Semi, 1990:1)
            Dalam perkembangan sastra modern, kritik sastra memegang peranan yang sangat penting, tidak hanya sebagai usaha menjembatani gagasan yang di sampaikan pengarang lewat teks sastra kepada pembaca, tetapi juga memberi panduan untuk memahami karya sastra(Mahayana, 2005: 219), agar sistem sastra bisa berfungsi sebaik-baiknya.
            Dzikir-dzikir cinta -selanjutnya disingkat DDC- merupakan potret romantisme di pesantren, sangat menarik untuk menjadi bahan kritik sastra, karena terdapat keberanian penulis memotret sisi lain pesantren, mengungkap yang tidak terungkap, terselubung dan tabu untuk dibicarakan di lingkungan pembentuk generasi agamis seperti pesantren. Sebuah romantisme, istilah yang erat dengan dominasi rasa, dan berbagai peristiwa di susun secara dramatis, hanya memberi sedikit tempat pada rasio untuk berperan. Akan tetapi Romantisme yang di maksud disini bukan sebuah aliran, namun kisah romantis yang terjadi di kalangan santri, perasaan cinta yang mengharu biru. Meski romantisme sangat di tonjolkan, namun sarat dengan pesan-pesan moral, disampaikan dengan beragam cara yang mudah di tangkap oleh pembaca. Walau pada akhirnya penelaah menggunakan salah satu aliran sastra ini sebagai pisau analisis.

I. Latar Belakang Masalah
            Pesantren merupakan lembaga yang menjadi rujukan nilai dan etika, sejak awal kelahirannya menyimpan misi dari para ulama terdahulu yang di antaranya mentransmisikan  islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang di tulis berabad-abad yang lalu (Bruinessen: 1995: 17). Ilmu yang bersumber dari kitab klasik, dianggap sesuatu yang statis, tidak dapat di sentuh, kalaupun itu terjadi, hanya untuk diperjelas dan dirumuskan kembali dengan kandungan yang tidak berbeda. Demikian salah satu contoh  kekakuan tradisi yang menyelimuti dunia pesantren. Meski di era kini, terdapat dua jenis pesantren baik salafiyah yang bercorak tradisional baik dari sisi kitab yang di pelajari hingga system belajar mengajar santri, dan khalafiyah yang menggunakan corak modern pada sisi-sisinya termasuk pada kitab yang di pelajari dan berbagai sistemnya.
Berkaitan dengan novel yang akan di telaah (DDC), mengekspresikan realitas pesantren salafiyah yang kental dengan tradisi, selain itu, yang mendominasi dari DDC, yaitu ungkapan sisi lainnya, romantisme di dunia pesantren yang tidak jarang melanda antara sesama santri, terutama bila letak pesantren putra berdekatan dengan pondok putri. Fenomena tersebut bukan hanya isapan jempol saja, akan tetapi realitas  yang tidak jarang terjadi di pesantren. Salah satu penyebabnya adalah peraturan yang di buat dengan rapat, justru kerap membuat santri mencari celah. Larangan yang terlalu ketat, pada akhirnya justru menghilangkan ketakdziman terhadap larangan itu sendiri. Karena pada hakikatnya manusia itu makhluk yang “merdeka”.

II. Rumusan Masalah
             Sebagaimana sudah di singgung sebelumnya, DDC menggambarkan sisi lain dari pesantren, “interaksi-eksotis” yang tabu untuk di ungkap khususnya.
Meski karya sastra merupakan gambaran dari pengalaman pribadi ataupun suatu masyarakat, tak akan sama persis dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya karena sebuah dunia dalam suatu cerita itu sudah mengalami beberapa fase yang meliputi beberapa proses penghayatan, penafsiran dan pemaknaan. Kemudian baru dituangkan dalam susunan-susunan kata yang di bumbui dengan imajinasi (Mahayana, 2005: 336). Akan tetapi, kejujuran penulis dalam menuangkan peristiwa tidak dapat di nafikan begitu saja.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di dunia pesantren? Apakah telah terjadi kelonggaran tradisi, dan pesantren merupakan salah satu tempat yang tidak terlewatkan oleh budaya barat, sebagaimana yang terjadi di masyarakat Indonesia pada umumnya? serta sejauh manakah, novel ini mencerminkan kehidupan pesantren, khususnya fenomena romantisme di dalamnya?. Persoalan yang akan coba di jawab dengan pijakan berbagai sumber. Meski karena beberapa faktor alasan, penalaah di sini tidak merincinya secara detail.

B. Landasan Teori.
            Sebagaimana dalam sejarah kritik dan teori sastra, terdapat salah satu pendekatan sosiologi untuk memahami karya sastra. Karya sastra disini dipahami sebagai karya yang tidak hadir begitu saja sehingga menafikan latar belakang sastra itu sendiri, akan tetapi adanya keterkaitan dengan semesta dimana karya itu lahir, ia berupa potret kehidupan sang sastrawan itu secara khusus, maupun masyarakat secara umum, serta merupakan hasil hubungan diakletis antara sastrawan dan realitas objektif, seperti kondisi sosial, budaya, dan politik yang berada di sekitarnya.(islam, Telaah sosiologi sastra: 1). Kendati demikian, sastra menurut Endraswara tetap di akui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan (kamil , Tulisan&Himpunan makalah bahan kuliah: 78) yang dapat dinikmati oleh pembaca, di fahami dan di manfaatkan (Sapardi, 2002: Makalah Bahan Kuliah).
            Selain melalui landasan sosiologi, kritik sastra ini juga menggunakan pendekatan melalui aliran romantisme. Sebuah aliran yang beraktualisasi pada pengungkapan rasa, dimana realitas kehidupan dilukis dalam bentuk yang indah dan halus, serta setiap konflik baik bahagia maupun sebaliknya, disusun secara detail dan dramatis, dengan tujuan utama, menyentuh dan mengguncang emosi pembaca (Kamil: Tulisan&Himpunan makalah bahan kuliah: 33).
            Pada zaman romantik, karya sastra dipahami sebagai ekspresi, peluapan atau ungkapan perasaan pengarangnya atau sebagai hasil imajinasi pengarangnya yang mengurai pandangan, pemikiran, dan perasaannya(Yapi Taum, 1997: 25), kemudian karya tersebut lahir dari jiwa yang jernih dan rasa yang tajam.  

C. Sejarah Hidup Pengarang
            Anam Khoirul Anam, lahir di Ngawi, 26 juni 1982. Tumbuh dan besar di sebuah kampung daerah pegunungan. Ketika kecil pernah bercita-cita menjadi ABRI, namun sekedar cita-cita anak kecil yang kemudian terkubur dengan iringan waktu. Ia seorang yang familiar, menjadikannya sangat lentur; cakap dan mudah bergaul dengan siapa saja.
            Penulis novel best seller ini banyak menimba ilmu di pesantren tradisional (salafy) sejak jenjang pendidikan menengah (tsanawiyah), dan menempuh studi di MAN 2 Madiun angkatan 1999. Kemudian melanjutkan program studi di fakultas Tarbiyah (D2) UII Madiun, setelah tamat, di tahun 2003 ia meneruskan studi S1-nya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Fakultas Adab, jurusan bahasa dan sastra Arab hingga sekarang. Sejak berstatus sebagai mahasiswa UIN ia tinggal di salah satu pondok pesantren salafy di yogya. Hingga lahirlah karya ini sebagai cerminan hidupnya di pesantren.
            Di samping itu ia aktif di Lembaga “KUTUB”. DDC merupakan karya perdananya yang berbentuk novel, namun karya-karyanya yang lain telah dipublikasikan antara lain di: Jawa Pos, Seputar Indonesia, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Surya, Bulletin Savior dll. Prestasi yang pernah di raihnya yaitu pernah menjadi juara III dalam lomba puisi se-UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta (2005)

D. Ringkasan Cerita (sinopsys)
            Sebelum menceritakan ringkasan cerita, karena substansi dari novel ini begitu kompleks, maka hanya di batasi pada peristiwa yang berkisar pada kisah romantisme di dunia pesantren.
            Adapun tokoh pada novel ini menampilkan kiayi Mahfudz, pengasuh pondok pesantren yang merupakan salah satu latar terjadinya peristiwa, serta putrinya Fatimah. Dan Kiayi Muhsin, sosok kiayi Muhsin tidak hadir secara langsung dan berperan dalam novel ini, akan tetapi hadir sebagai sosok sahabat kiayi Mahfudz ketika sama-sama masih berstatus sebagai santri, di sini kiayi Mahfudz sebagai pencerita kisah perjuangan cinta sahabatnya yang mencintai putri kiayi, Aisyah, dan tidak mendapatkan restu dari sang kiayi- ayah, sekaligus guru pesantren. Oleh karena itu hukuman demi hukuman ia jalani di sebabkan cinta terlarang yang di jalani. Kisah pilu dua sejoli yang teringkari oleh etika, terberangus hingga mereka tak berdaya. Cinta yang terbungkus norma, religi dan karisma dalam penjara suci. Dan puncak dari hukuman yang diterimanya serta membuat kiayi naik pitam ia harus mengasingkan diri di bukit selama 40 hari, dan setiap harinya harus membaca surat At-taubah, ketika di sebuah gudang nan sepi, kiayi menemukan dirinya dan Aisyah sedang asyik masyuk berdua dalam keadaan bibir yang beradu, desah-desah peluh bercampur nafsu, bermandian, berkejaran dalam aliran darah, serta mengalir dalam luapan rasa yang menggelora. Sedangkan Aisyah diberi hukuman dengan dipingit didalam rumah, Setelah selesi dari masa ta’dzir, Muhsin muda mencoba melamar Aisyah namun ditolak kecuali bila ia mampu memenuhi syarat untuk menguasai berbagai ilmu agama, hingga melebihi kiayinya, sejak itu ia angkat kaki dari pondok dan “melahap” berbagai ilmu, lantas dengan kehendak Nya, cinta mereka dapat bersatu karena Muhsin kembali dan membuktikan kesungguhan cintanya. Kekuatan cinta yang dilandasi dengan ketulusan karena Allah semata.
Juga menghadirkan sosok Rusli, ‘mantan’ santri kiayi muhsin yang kemudian pindah ke pondok kiayi mahfudz atas arahan kiayi muhsin, dan Nikmah santriwati dari Gus Mu’ali, lokasi pondoknya tidak jauh dengan pondok kiayi Mahfudz. Rusli dan Nikmah mengalami kisah cinta yang tidak kalah tragis. Berpisah karena Rusli yang menjadi abdi ndalem, di minta untuk menikahi putrinya Fatimah yang secara diam-diam menyimpan hati padanya. Ia tak dapat menolaknya, dengan membawa hutang budi pada sang kiayi di sertai rasa hormat yang tinggi serta adanya unsur pengaruh dari kondisi sosial adat istiadat yang berlaku di pesantren, pada kali ini ia tidak dapat berbuat apa-apa, walau hanya untuk memperjuangkan cintanya, yang mampu ia lakukan hanya menyimpan cintanya pada Sukma dalam peti emas dan menikah dengan putri kiayi. Ia telah menikah namun tak mampu menepis cinta pada Sukma meski yang di sampingnya adalah Fatimah. Dan karena ketulusan cintanya, ia dapat menikah dengan Sukma setelah Fatimah meninggal setelah melahirkan anak pertama Rusli. Lantas setelah rentang waktu yang tidak terlalu panjang Rusli meninggal dalam kecelakaan motor ketika ingin mengisi pengajian, sedangkan Sukma pasca di tinggalkan oleh suaminya ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal bersama bayi yang ada dalam rahimnya. Pada ending kisah ini di ceritakan bahwa mereka bertiga (Rusli, Fatimah dan Sukma) hidup bahagia di alam lain.
Dan berbagai kisah aneh santri yang nyeleneh, baik santri yang berhubungan dengan sesama (homoseks dan lesbi). Maupun bagi santri yang memiliki ilmu hikmah yang supranatural, di dalam novel salah satunya dengan nama ilmu ngerogoh sukma[1].

E. Analisis
            Pada kesempatan kali ini, analisis di sandarkan pada pendapat Laurenson dan Swingewood bahwa penelitian ini mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya. Berpijak pada teori, penulis novel memang berdomisili di lingkungan pesantren, sebagaimana karya sastra yang tercipta, berlatar pesantren. Bahkan secara terus terang penulis mengatakan bahwa karya yang ada di tangan penelaah kini(DDC) merupakan sebagian dari kisah hidupnya.  Keberanian untuk mengungkap sisi lain pesantren. Tentunya tanpa menafikan peran pesantren dalam pembentuk moral bangsa.
Di samping itu sastra sebagai cermin masyarakat, digunakan untuk melihat refleksi masyarakat di dalamnya. Kisah yang ada dalam novel ini juga merupakan refleksi dari  kehidupan sehari-hari santri dan merupakan kritik tajam yang seakan-akan meletakkan posisi santri sebagai manusia biasa yang tidak di dalam jiwanya terdapat gejolak darah muda, ingin mencintai dan di cintai. Di titik ini terdapat permainan romantisme yang meliputi eksploitasi rasa ( العاطفة ), luapan rasa cinta yang di iringi dengan kebahagiaan dan kesedihan. Tergambar pada ungkapan “ entah mengapa sehari tanpa bias bayangmu, hari-hariku makin sunyi. Mati. Tak ada energi yang mampu mendorongku untuk mengejar hari. Aku makin lemah tanpa hadirmu. Jiwa ini makin meronta ketika sejengkal jarak mencoba pisahkan rasa kita”.  Juga pada “ ada denyar-denyar bahagia menusuk relung-relung hatinya, beriring letupan senyum antar keduanya. Letupan-letupan rasa malu yang tak terkira. Keakraban dua insane yang telah di mabuk cinta itu mulai tersulut. Rembulan  yang redup di angkasa biru seperti malu-malu menampakkan wajahnya. Biru, sebiru cinta dalam hati mereka yang tengah di mabuk asmara”. Kisah bahagia dan derita yang di susun dengan dramatis, di uraikan secara tuntas dan sempurna. Juga khayal (الخيال)atau imajinasi dari penulis, merupakan kemampuan menciptakan citra dalam angan-angan atau pikiran tentang sesuatu yang tidak diserap oleh panca indera atau yang belum pernah dialami dalam kenyataan(Sudjiman, 1990: 36). Karya yang terpancar dari alam ide sang kreator, terletak pada ilmu hikmah supranatural ngerogoh sukmo, ngerogoh sukmo dalam kisah ini hanya berupa fiksi, namun ilmu-ilmu hikmah di dunia pesantren yang semacam itu, meski tidak semua orang tahu, jumlahnya sangat banyak, dan tidak sedikit santri yang “ngamal” ilmu hikmah dengan tujuan yang beragam.
Kembali pada tataran sosiologi sastra, karya yang berkisar kehidupan pesantren ini lahir pada september 2006, mengenai tahun lahirnya karya ini juga merupakan cermin dari sebuah zaman, bahwa pada tahun tersebut globalisasi yang melanda negeri ini juga berimbas pada kehidupan di pesantren, walau masih banyak nilai-nilai yang sama sekali tidak bergeser pada tempatnya, tapi santri sebagai anak zaman tentu saja tidak akan sama dalam hal pemikiran dengan santri generasi lalu, karena hidup di zaman yang berbeda. Contoh kecilnya, dewasa ini banyak santri yang suka mendengarkan musik masa kini, baik beraliran pop, jazz, dangdut, bahkan rock. Bukan hanya mendendangkan gambus, shalawat nabi dan berbagai jenis aliran musik islami lainnya. Dari sini dapat dilihat modernisasi juga menjalar pada kehidupan pesantren meski tidak “sebulat” pada generasi muda non pesantren yang kehidupannya riilnya sudah di warnai dengan beragam imbas dari globalisasi seperti gaya hidup sangat pragmatis, cair, hedonis, dan buntutnya adalah konsumtif. Meski pengertian ini terlepas dari generasi-generasi muda yang hingga saat ini tetap mempersiapkan dirinya membangun negeri.
Berbeda bila DDC lahir sebelum tahun 1980, hal yang tidak mungkin terjadi. Kajian tentang pesantren berkisar sebelum tahun 1980-an masih menjadi hal langka sehingga keberadaannya masih sedemikian asing bagi perbincangan sehari-hari. Konsekuensi logisnya saat kajian tentang pesantren menjadi hal langka yang berakibat kurang dikenalnya pesantren di ranah masyarakat luas, bagaimana jadinya bila isu yang lahir langsung berupa isu negatif. Kemungkinan terbesarnya, pesantren akan mendapat cibiran masyarakat terutama di kalangan masyarakat yang belum mengenal “sisi dalam” pesantren dan peran sertanya di kancah perjuangan mempertahankan Negara kita tercinta.
Karya DDC mencerminkan kisah romantisme di pesantren, sebagaimana sudah di singgung sebelumnya, dari mulai hubungan emosional rasa antar santriwan dan santriwati yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebuah kontras memang. Di dalam pondok pesantren memandang lawan jenis itu dilarang, apalagi mencintai. Haram adalah bahasa orang pesantren. Zina. Dilarang mencintai santriwati, meski boleh menyayangi. Hubungan cinta hanya dikenal dalam ikatan pernikahan. Begitulah slogan yang di gembar gemborkan dalam dunia pesantren. Namun pada hakekatnya, ada pergolakan batin disana. Ada usaha memunafiki kejujuran hati yang hakiki di dalam pengkhianatan terhadap cinta.
 Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya bahwa dalam karya ini mengungkap sisi lain pesantren berdasarkan keberanian dan kejujuran penulisnya, kisah-kisah tersebut memang fenomena yang kerap terjadi pesantren. Namun pada hakikatnya dunia sastra adalah dunia imajinatif, fakta dalam karya sastra pada hakikatnya fiksionalitas. Ia merupakan hasil pencampuran antara pengalaman, imajinasi, kecendekiaan dan wawasan pengarang. Dan pengalaman yang diperoleh pengaranga/penulis karya sastra telah mengalami beberapa proses, meliputi perenungan, penghayatan, lalu di evaluasi. Lantas dengan kemampuan imajinasi dan keluasan wawasan pengetahuannya, pengarang mengungkapkan kembali dengan bahasa sebagai media. Jadi, sejauh manapun karya sastra sebagai cermin memantulkan bias, cerita dalam karya tersebut hanya menjadi sebuah dunia rekaan. Kesimpulannya meski terdapat sisi-sisi nyata dari DDC, kisah nyata yang di alami lalu di ungkapkan kembali oleh pengarang, namun hanya merupakan sebuah cerita yang sudah melalui beberapa proses yang telah di sebutkan tadi, dan proses akhirnya melahirkan dunia rekaan pengarang semata.
Adapun di sebabkan ruang lingkup santri yang semuanya laki-laki maupun sebaliknya. Banyak terjadi hal yang tidak di inginkan, hubungan antar sesama yang seharusnya tidak pernah boleh terjadi. Kisah ini juga beriringan dengan fakta di lingkungan pesantren. Banyak kasus serupa terjadi, hanya saja bagi putri kiayi yang mencintai khadam/abdi ndalem ayahnya itu jarang sekali terjadi di dunia nyata. Meski tidak menutup kemungkinan bila hal itu terjadi.

F. Penutup
            Demikianlah serangkaian kritik dan analisis sebuah karya sastra melalui pendekatan sosiologi dan di lengkapi dengan aliran romantis. Sangat di sadari masih terdapat banyak kesalahan maupun ketidaksesuaian, untuk itu berbagai saran serta kritik yang membangun akan di terima dengan sambutan hangat dan tangan terbuka.
            Tak ada asa yang lebih tinggi, hanya berharap semoga karya ini dapat bermanfaat untuk penganalisa sebagai pelajar dan pemula khususnya, dan bagi pembaca umumnya.
            Kepada bapak dosen dan untuk semua oknum yang telah membantu hingga tugas ini selesai, saya haturkan beribu terima kasih dan apresiasi yang tak terhingga.

G. Daftar Pustaka
Anam, Anam Khoirul, Dzikir-dzikir Cinta, Yogyakarta: Diva Press, 2007, cet. Ke-10.
Semi, M. Atar, Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, 1993, cet. Ke-1.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.
Mahayana, Maman S., Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik, Jakarta: Bening, 2005, cet. Ke-1.
Kamil, Sukron, Tulisan Dan Himpunan Kritik Sastra Arab, Teori Klasik Dan Modern, Jakarta: Fakultas Adab Dan Humaniora, 2004.
Damono, Sapardi Djoko, Klasifikasi Dan Bagan Sosiologi Sastra, Makalah Bahan Kuliah, 2002.
Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Universitas Indonesia, 1990.
Yapi Taum, Yoseph, Pengantar Teori Sastra, Flores: Nusa Indah, 1997, cet. Ke-1.






















[1] Ilmu dengan keluarnya ruh dari jasad, sehingga bisa menemui orang yang di inginkan tanpa sepengetahuan siapapun(biasanya pada malam hari). Dengan demikian orang yang “ngilmu” bisa berbuat apa saja terhadap korbannya  termasuk berbuat mesum. Sedangkan orang yang dalam keadaan tidur dan menjadi korban hanya merasa bahwa ia telah mimpi basah.

2 komentar:

  1. Aaslamulaikum, sebelumnya kami monta maaf. Jika tidak berkeberatan kami menginginkan data aslinya guna kami jadikan sebuah buku. dimana didalamnya berisi tentang kumpulan kajian ilmiah mengenai novel Dzikir-dzikir Cinta. Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi kami. aku Fb: Penerbit Pustaka Puitika. email: pustaka_puitika@yahoo.com

    BalasHapus
  2. wa'alaikumslm wr wb.
    ini serius pak?, saya edit terlebih dahulu ya, karna ini tulisan lama. sepertinya dari sisi ejaan dll ada yg hrs diperbaiki. insya Allah saya kirim besok ke email yang antum cantumkan di atas. terimakasih.

    BalasHapus