1.
Pendahuluan
Bagi para pembelajar bahasa, dua istilah sinkronis dan diakronis
merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi, karena linguistik dapat
mempelajari bahasa secara sinkronis dan secara diakronis, kajian sinkronis
bahasa menurut Chaer (2003:12) adalah kajian deskriptif yang mempelajari bahasa
pada satu kurun waktu tertentu atau terbatas tanpa dibandingkan atau
dihubungkan dengan kondisi bahasa pada kurun waktu yang lain. Sedangkan studi
diakronis, mempelajari bahasa dan aspek-aspeknya dari waktu ke waktu dengan
memberi perhatian pada perkembangan bahasa yang dikaji, sehingga bahasa dari
berbagai kurun waktu tersebut dapat di bandingkan. Dengan demikian, dari kajian bahasa berbagai kurun waktu
tersebut dapat diketahui perkembangan bahasa
dari masa ke masa.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Chaer tentang sinkronis dan
diakronis, menurut Dinneen (1967:176) studi sinkronis adalah kajian atau
deskripsi bahasa, yang tanpa dihubungkan dengan sejarah bahasa tersebut. Dan
studi diakronis adalah kajian bahasa dari aspek sejarahnya, lalu dilakukan
perbandingan antara kondisi bahasa dari kurun waktu tertentu dengan kondisi
bahasa pada kurun waktu lain, sehingga dapat di ketahui perbedaan-perbedaan
serta perkembangan suatu bahasa pada waktu ke waktu. Studi sinkronis juga disebut
sebagai studi deskriptif, dan studi diakronis juga disebut sebagai studi
historis komparatif atau linguistik bandingan.
Berikut ini akan di kaji Buku “linguistik
umum” selanjutnya akan disingkat –LU- dan buku An Introduction to General Linguistics selanjutnya akan di singkat menjadi –AIGL-
berdasarkan aspek sinkronis dan diakronis yang dikaji dalam kedua buku
tersebut.
2.
Aspek Sinkronis
a) Analisis Sinkronis Pada Buku Linguistik Umum
Jika dilihat secara selintas saja, pada LU,
sepertinya tidak membahas tentang linguistik dari sisi diakronis, namun hal
tersebut tidak benar, karena selain membahas aspek sinkronis bahasa, buku
tersebut juga menyinggung aspek diakronis, meskipun tidak dapat dipungkiri
aspek sinkronis dalam LU ‘bisa dikatakan’ lebih dominan di bandingkan dengan
kajian yang memuat tentang aspek diakronis. LU mengkaji aspek-aspek studi
sinkronis yang dikemas pada bab-bab tersendiri, tataran bahasa yang meliputi
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Namun pada kajian ini lebih
terfokus pada ciri-ciri bahasa yang merupakan sifat bahasa yang hakiki.
Setiap makhluk hidup memiliki bahasa sebagai
ekpresi, seperti binatang, tumbuhan, dan manusia. Namun setiap makhluk hidup
ini memiliki bahasa yang berbeda-beda. Binatang memiliki bahasa yang hanya
benar-benar dimengerti oleh sejenisnya, sedangkan bahasa tumbuhan tidak seperti
bahasa binatang maupun manusia, dan bahasa manusia merupakan bahasa yang paling
kongkrit yang di manfaatkan untuk berinteraksi dengan komunitasnya atau
masyarakat. Perlu digaris bawahi, bahasa yang di maksud disini adalah bahasa
yang terwujud dalam bunyi, bukan bahasa yang berkonotasi selain bunyi, misalnya
bahasa tubuh atau bahasa yang mengacu pada cara, sopan santun, dan lain
sebagainya.
Bahasa lisan yang dituturkan adalah objek
primer dari bahasa sedangkan bahasa tulis hanya merupakan cerminan dari bahasa
tuturan, jadi hanya menempati sebagi objek sekunder dari bahasa tanpa mengabaikan
urgensi dari bahasa tulis tersebut. Karena hingga kini masih banyak
bahasa-bahasa di dunia yang tidak mempunyai aksara, sehingga jika bahasa itu
sudah tidak memiliki penutur lagi atau punah, bahasa tersebut sudah tidak dapat
diteliti karena tidak memiliki dokumentasi tertulis yang menyimpan khazanah dan
kearifan.
Bahasa merupakan bunyi arbitrer yang bersistem
dengan memiliki susunan yang teratur, berpola yang keseluruhannya membentuk
makna dan fungsi. Hal tersebut merupakan bagian dari sifat bahasa yang merupakan
ciri dari bahasa. Ciri yang lain adalah bahasa merupakan lambang yang mewakili
konsep dari yang dilambangkan, mengapa yang diwakili adalah konsep? karena pada
umumnya antara lambang dan yang lambangkan tidak memiliki keterkaitan. Lalu
jika kita mengatakan meja yang tergambar dibenak penutur dan pendengar adalah
konsep meja yang tidak hanya memiliki satu bentuk saja misalnya bundar, tapi
yang bersegi empat atau tiga juga
disebut meja. Meskipun antara lambang dan yang dilambangkan bersifat arbitrer
namun penggunaan lambang untuk suatu konsep harus dilandasi dengan konvensi,
atau bersifat konvensional, karena jika tidak, lambang/bahasa yang digunakan
oleh seseorang tidak dapat dipahami oleh penutur lain yang mengakibatkan
terhambatnya komunikasi antar penutur.
Apabila kearbitreran bahasa terletak pada
hubungan antara lambang-lambang bunyi dengan konsep yang dilambangkannya, maka
kekonvensionalan bahasa ada pada ketaatan para penutur bahasa untuk menggunakan
lambang itu sesuai dengan konsep yang dilambangkannya. Seperti dalam kata
“kuda”, jangan coba-coba digunakan untuk konsep yang selain “binatang berkaki
empat yang bisa di tunggangi serta memiliki ciri khas pada bentuk tubuhnya”.
Setiap bahasa meiliki ciri khas dan keunikan
tersendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya, misalnya: keunikan bahasa
indonesia terletak pada tekanan kata yang tidak bersifat morfemis, melainkan
sintaksis, dan keunikan bahasa jepang terletak pada nada-nada suprasegmental
yang membedakan makna, dan lain sebagainya. Selain memiliki ciri khas
tersendiri setiap bahasa juga memiliki ciri universal, yaitu setiap bahasa didunia
memiliki pada sisi tertentu memiliki ciri-ciri yang sama. Ciri universal yang
paling umum dalam setiap bahasa adalah setiap bahasa memiliki bunyi vokal dan
konsonan yang disertai dengan fonotactic constrain atau batasan
fonotaktik yang berbeda-beda.
Selain itu bahasa bersifat variatif, jangankan
pada bahasa yang berbeda, pada bahasa yang sama terdapat variasi atau ragam
bahasa yang digunakan suatu masyarakat bahasa tertentu, misalnya saja pada
bahasa Jawa, bahasa jawa kaya akan dialek-dialek yang merupakan ragam atau
variasi dari bahasa Jawa tersebut, diantaranya adalah bahasa Jawa dialek Tegal,
bahasa Jawa dialek banyumas, bahasa Jawa dialek surabaya, dan lain-lain.
Kemudian bahasa juga berfungsi sebagai alat
interaksi sosial yang secara otomatis menjadi identitas bagi penuturnya.
b) Aspek Sinkronis Pada Buku An
Introduction to General Linguistics
Dalam buku AIGL, mengkaji tentang aspek
linguistik sinkronis, yang diantaranya membahas karakteristik bahasa, yang
meliputi kajian tentang linguistik sebagai studi ilmiah bahasa, kajian bahasa
sebagai bunyi, dan membahas tentang grammar; dan mempelajari bahasa dari aspek diakronis atau
historis komparatif yang berkaitan dengan perkembangan bahasa; serta mengkaji linguistik historis komparatif dan
mendeskripsikan penelitian-penelitian bahasa
yang telah berhasil dilakukan oleh para sarjana sebelum abad ke-20.
Aspek sinkronis pada AIGL tidak jauh berbeda seperti yang dikaji kemudian oleh Chaer, yaitu terletak pada bahasa sebagai kajian
ilmiah yang meliputi karakteristik bahasa sebagai bunyi yang bersistem,
berpola, bersifat arbitrer, bermakna, bersifat konvensional, memiliki ciri-ciri
tersendiri yang unik, memiliki ciri-ciri universal, dan bersifat produktif.
Kemudian mengkaji tentang bahasa sebagai bunyi.
Pada prinsipnya, bunyi bahasa dapat di deskripsikan dengan tiga cara: (1) dari
komposisi bunyi bahasa tersebut. (2) dari distribusinya. (3) dari segi
fungsinya.
Aspek sinkronis lainnya adalah kajian tentang
grammar sebagai sistem formal dari bahasa, mengkaji fungsi makna pada bahasa,
dan fungsi makna pada grammar, lalu beranjak pada satuan formal grammar dan
lain-lain.
3.
Aspek Diakronis
a) Analisis Diakronis Pada Buku Linguistik Umum
Studi diakronis pada LU sedikit disinggung
ketika membahas tentang kedinamisan bahasa, dari sini dapat di analisis bahwa
bahasa dari masa ke masa tidak tetap dan selalu berubah, setiap abadnya
mengalami perubahan, baik dari sisi fonologis, morfologis, sintaksis, juga
semantik; serta leksikon-leksikon yang digunakan di masyarakat juga sudah tidak
sama dengan satu abad sebelumnya. Contoh yang dicantumkan pada LU adalah: pada
zaman dahulu, bahasa Indonesia belum mengenal fonem /f/, /kh/, dan /sy/, karena
ketiga fonem tersebut dianggap sama dengan fonem /p/, /k/, dan /s/. Sehingga
kata:
Fikir → sama dengan → pikir
Khabar → sama dengan → kabar
Masyarakat → sama dengan → masarakat
Bahkan akibat perubahan budaya dan
perkembangan ilmu pengetahuan, selalu ada kata-kata baru yang lahir atau
hadirnya kata-kata lama dengan makna yang baru, hal ini mengindikasikan bahwa
perubahan yang kerap terjadi pada bahasa adalah pada tataran leksikon dan
semantik.
Sebaliknya, bahasa tidak hanya berubah dengan
alasan perkembangan bahasa tersebut, akan tetapi diakibatkan karena kemunduran,
seiring dengan perubahan yang dialami masyarakat bahasa tersebut, faktor utamanya
adalah alasan sosial dan politis, sehingga banyak penutur suatu bahasa
meninggalkan bahasanya dan lebih memilih untuk menggunakan bahasa lain. Misalnya
saja kodisi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia, banyak penutur bahasa yang
lebih intens dalam menggunakan bahasa Indonesia dan cenderung melupakan bahasa
daerah yang sekaligus sebagai bahasa ibunya di sebabkan oleh kedua faktor
diatas yaitu faktor sosial dan politis; contoh lainnya yang berkenaan denga
kedua alasan tersebut di atas adalah banyak orang tua tidak mengajarkan bahasa daerah
kepada anaknya, sehingga bahasa ibu anak tersebut adalah bahasa indonesia,
bukan bahasa daerah ayah atau ibunya; jika hal ini terus terjadi, maka
kekhawatiran yang sangat mendasar adalah banyaknya bahasa daerah yang punah
karena sudah tidak mempunyai penutur lagi, dan hal ini yang seharusnya di
antisipasi bersama.
b) Aspek Diakronis Pada Buku An
Introduction to General Linguistics
AIGL membahas tentang linguistik yang terfokus
pada kajian historis komparatif yang dimulai sejak zaman kuno sampai separuh
abad pertengahan, kemudian kajian ini mengalami perkembangan yang sangat pesat
pada abad ke- 19. lalu selayaknya roda yang selalu berputar, kepopuleran kajian
ini di ungguli oleh kajian linguistik sinkronis yang berkembang pesat sejak
pada abad ke20 hingga saat ini. Meskipun demikian tidak berarti linguistik
historis komparatif ‘tenggelam’ dan ‘karam’, kajian ini hingga kini masih tetap
eksis dan berjalan beriringan dengan linguistik deskriptif.
Pada bab linguistik historis komparatif pada
abad ke-19 banyak di uraikan tentang penelitian-penelitian bahasa yang dimulai
sejak periode eksplorasi dan kolonialisasi pada bangsa-bangsa selain eropa.
Kajian-kajian bahasa yang banyak diteliti oleh
bangsa Eropa, contoh konkrit ketertarikan bangsa Eropa pada penelitian bahasa
tersebut, kata-kata pada setiap bahasa di data sebagai usaha mencari
kekerabatan antar bahasa tersebut. Contohnya: pada tahun 1484-1558 Julius
Caesar Scaliger berhasil membandingkan bahasa Latin dan Yunani, kemudian
anaknya J.J Scaliger (1540-1609) mencoba menklasifikasikan keseluruhan bahasa
yang ada di Eropa. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Etienne Guichard yang
berhasil menyusun “etimological Harony of languages” pada tahun 1906,
yang membahas tentang bahasa Yahudi, Chaldaic, Syiria, Yunani, Latin, Perancis,
Italia, Spanyol, jerman, Flemish dan bahasa Inggris; yang berujung pada
kesimpulan bahwa semua bahasa-bahasa yang ia teliti dapat dirujuk pada bahasa
Yahudi, dengan kata lain, ia ingin menunjukkan bahwa bahasa asal dari
keseluruhan bahasa tersebut di atas adalah bahasa Yahudi (hebrew).
Pada abad 17 dan 18, koleksi ensiklopedia yang
di dalamnya memuat pengetahuan dan informasi telah berhasil disusun dengan menggunakan
topik-topik yang sangat logis, salah satunya memuat tentang bahasa. Salah satu tokoh pada
abad ini adalah Leibniz, ia tertarik mengumpulkan daftar-daftar kata dan
uraian-uraian grammar dari berbagai bahasa, bahkan ia pun menjalin hubungan
baik dengan Jesuit, misionaris di Cina, juga berhubungan dengan tokoh-tokoh
diseluruh dunia yang memiliki ketertarikan dalam bidang yang sama, yakni bahasa.
Setelah karya ini lahir kemudian saling bermunculan penelitian-penelitian bahasa,
dan penelitian yang bisa dikatakan fenomenal adalah pada
koleksi korespondensi kata volume 4 yang
berjudul Mithradates, oder Allgemeine
Sprachenkunde mit dem Vater Unser als Sprachprobe in Beynahe 500 Sprachen und
Mundarten sebuah karya J.C Adelung,
diterbitkan di Berlin antara tahun 1806 sampai 1817. Penelitian ini
membandingkan tidak hanya pada kata-kata asing, juga membandingkan berbagai versi bahasa pemujaan
Tuhan yang
membandingkan hingga mencapai 500
bahasa. Sayangnya, banyak sekali kesalahan,
proses editing yang kurang memadai, dan pemilihan
doa yang kurang
tepat untuk menunjukkan korespondensi bahasa yang digunakan dalam doa dengan bahasa yang digunakan sehari-hari.
Kemudian
penelitian yang tidak kalah penting adalah yang dilakukan oleh Jacob Grimm
(1785-1863) petama kali dipublikasikan edisi pertama dari Deutsche Grammatik
pada tahun 1818, penelitiannya tidak hanya mensugesti grammar bahasa Jerman
saja, akan tetapi keseluruhan struktur grammar pada zaman kuno hingga
bentuk-bentuk grammar modern dari bahasa-bahasa Germanic. Pada edisi
kedua yaitu tahun 1822 Grimm berhasil menyusun korespondensi bunyi antara
bahasa Sansekerta, Yunani, dan Latin (yang termasuk dalam kelompok Indo-Eropa)
serta bahasa-bahasa Germanic. Lautverschiebungen / sound-shift
atau disebut juga “pergantian bunyi”, yang hingga kini dikenal dengan “hukum
Grimm”.
Dan masih banyak lagi prestasi-prestasi yang di ukir oleh para
sarjana dalam bidang penelitian linguistik sebelum abad ke -20. Kemampuan para
sarjana pada kurun waktu selanjutnya adalah memberikan
deskripsi secara akurat tentang hubungan kekerabatan antar bahasa, dan
menyajikan bukti pada sistem kealamiahan bahasa, serta
memberikan contoh untuk menggambarkan sistem-sistem bahasa tersebut.
4.
Kesimpulan
Kedua buku ini baik AIGL maupun LU menyajikan aspek-aspek studi
sinkronis maupun diakronis dalam karya mereka. Karena sesungguhnya linguistik
deskriptif baru lahir pada abad ke 20 yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure -yang
juga merupakan ahli studi diakronis- sesudah kajian linguistik diakronis
berkembang pesat di abad ke 19.
Masih banyak keterangan-keterangan lengkap yang
berharga dalam kedua buku ini yang hanya bisa diketahui ketika membaca langsung.
Karena hanya dengan demikian sumber informasi yang lengkap tersebut -dalam AIGL
dan LU-dapat di serap dan menjadi wawasan baru bagi pembacanya.
Daftar Pustaka
S.J Dinneen, Francis P. 1967. An
Introduction to General Linguistics. Washington: Georgetown University Press.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum.
Jakarta: Rineka Cipta.
thanks infonya mbak broo :)
BalasHapussama2 ya..smoga manfaat :)
BalasHapusterimakasih banyak sist ..
BalasHapusartikel ni sangat mmbantu :) :D
minta izin copy ya, soalnya ada di kasih tugas :)
makasih sekali lagi :D