1. Teori Hubungan Berbahasa, Berfikir dan Berbudaya
Pada hal ini
terdapat pendapat dari sejumlah pakar yaitu:
- Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya
ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan
budaya suatu masyarakat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota
masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah
ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota ini ingin
mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain.
Maka dengan demikian dia menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat
bahasa lain itu.
Mengenai bahasa itu sendiri Von
Humboldt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama berupa bunyi-bunyi dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum
terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran
dibentuk oleh ideenform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt
merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform)
- Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir
(1884-1939) linguis Amerika mengatakan pendapat yang hampir sama dengan Von
Humboldt. Sapir mengatakan manusia hidup didunia ini
- Teori Jean Piaget
Teori ini
mengungkapkan pendapat yang sebaliknya dengan teori Sapir-Whorf, dikemukakan
oleh Piaget sarjana Perancis, yaitu bahwa justru pikiranlah yang membentuk
bahasa, tanpa pikiran bahasa tidak akan ada.
Jean piget juga
mengemukakan teori perkembangan kognisi yang menyatakan jika seorang mampu
menggolong-golongkan sekumpulan benda-benda dengan berbagai cara yang berlainan
sebelum anak itu dapat menggolongkan benda-benda tersebut dengan menggunakan
kata-kata (bahasa) yang serupa dengan benda-benda tersebut.
- Teori L.S Vygotsky
Teori ini di
lontarkan oleh L.S Vygotsky, dan ia mengatakan bahwa terdapat 1 tahap
perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan
pikiran sebalum adanya bahasa. Lalu, dua garis perkembangan ini saling bertemu
maka pikiran berbahasa dan bahasa berpikir terjadi secara serentak. Maksudnya,
pikiran dan bahasa pada mulanya berkembang secara terpisah, tidak saling
mempengaruhi satu sama lain, dengan kata lain, mula-mula pikiran berkembang
tanpa bahasa, begitu pula sebaliknya, bahasa pada mulanya berkembang tanpa
pikiran, kemudian pada tahap selanjutnya, keduanya bertemu, bekerjasama, dan
saling mempengaruhi. Begitulah, seseorang berpikir dengan menggunakan bahasa
dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
- Teori Noam Chomsky
Mengenai
hubungan bahasa dan pemikiran Noam Chomsky mengajukan teori klasik yang disebut
hipotesis nurani. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa dalam
adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Pada waktu seorang
kanak-kanak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir
dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat
universal. Peralatan konsep ini tidak ada hubungannya dengan belajar atau
pembelajaran, misalnya dengan aksi atau perilaku seperti yang dikatakan Piaget,
dan tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut kecerdasan. Jadi, bahasa dan pemikiran
adalah dua buah system yang berasingan dan mempunyai otonomi masing-masing.
Seorang anak yang dungu pun akan lancer berbahasa hampir pada jangka waktu yang
sama dengan seorang kanak-kanak yang normal.
Hipotesis nurani berpendapat bahwa
struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa
bersifat otonom, dank arena itu, tidak ada hubungannya dengan system kognisi
(pemikiran) pada umumnya termasuk kecerdasan.
- Teori Eric Lenneberg
Berkanaan dengan
masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Eric Lenneberg mengajukan teori yang
disebut teori kemampuan bahasa khusus. Teori ini secara kebetulan ada
kesamaannya dengan teori Chomsky dan juga dengan pandangan Piaget.
Menurut Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan
biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang
khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan
pemikiran. Kanak-kanak, menurut Lenneberg telah mempunyai biologi untuk
berbahasa pada waktu mereka masih berada pada tingkat kemampuan berpikir yang
rendah dan kemampuan bercakap dan memahami kalimat mempunyai korelasi yang
rendah dengan IQ manusia. Penelitian yang dilakukan Lenneberg telah menunjukkan
bahwa bahasa-bahasa berkembang dengan cara yang sama pada kanak-kanak yang
cacat mental dan kanak-kanak yang normal. Umpamanya kanak-kanak yang mempunyai
IQ 50 ketika dia berusia 12 tahun dan lebih kurang 30 ketika berumur 20 tahun,
juga mampu menguasai bahasa dengan cukup baik, kecuali dengan sesekali terjadi
kesalahan ucapan dan kesalahan tatabahasa. Oleh karena itu, menurut Lenneberg
adanya cacat kecerdasan yang parah tidak berarti akan pula terjadi kerusakan
bahasa. Sebaliknya, adanya kerusakan bahasa tidak berarti akan menimbulkan
kemampuan kognitif yang rendah
- Teori Bruner
Berkanaan dengan masalah bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan
teori yang disebutnya teori instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah
alat apada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran itu. Dengan
kata lain, bahasa dapat membantu p[emikiran manusia supaya dapat berpikir
secara sistematis, Bruner berpendapat bahwa bahasa dan pemikiran berkembang
dari sumber yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat
serupa. Lalu, karena sumber yang sama dan bentuk yang sangat serupa maka
keduanya bisa saling membantu. Selanjutnya, bahasa dan pikiran adalah alat
untuk berlakunya aksi.
Kajian hubungan
bahasa, berfikir dan berbudaya pada awalnya dikemukakan oleh sarjana Jerman
seperti Johan Herder (1744-1803) dan Wilhelm von Humboldt (1762-1835). Mereka
telah meletakkan gagasan bahwa masyarakat yang berbeda akan berbicara secara
berbeda. Hal ini disebabkan bahwa mereka berpikir secara berbeda. Berpikir yang
berbeda ini disebabkan oleh bahasanya yang memberikan perbedaan cara
mengekspresikan dunia di sekitarnya. Gagasan inilah yang kemudian dikembangkan
oleh para linguis Amerika seperti Franz Boas (1858-1942), Edward Sapir
(1858-1942), Benjamin Lee Whorf (1897-1941). Pandangan yang mengatakan bahwa bahasa
mempengaruhi cara berfikir penuturnya dinamakan hipotesis relativitas
linguistik. Boas mengemukakan tiga argumen mengenai hipotesis ini. Pertama,
bahasa mengklasifikasi pengalaman. Kedua, bahasa yang berbeda-beda
mengklasifikasi pengalaman dengan cara yang berbeda-beda pula. Ketiga, Fenomena
linguistik umumnya bersifat tak sadar.[1]
Meskipun hipotesis relativitas
linguistik ini bermula dari Boas, namun orang yang paling gigih mengumandangkan
teori ini adalah Worf. Penggagas lain yang juga kuat adalah Edward Sapir.
Kegigihan kedua tokoh ini telah membuat hipotesis relativitas Linguistik
dikenal pula sebagai hipotesis Sapir-Worf. Hipotesis Sapir-Whorf membuat
pernyataan bahwa struktur bahasa yang secara biasa digunakan mempengaruhi sikap
dalam berpikir dan bertingkah laku.[2] Misalnya dalam bahasa Indonesia adatiga kata
untuk kata rice, yakni padi, beras, dan nasi. Dan bahasa Eskimo
yang memiliki empat kata untuk kata snow (salju) yaitu powder, corn,
ice, sleet. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran dan budaya
penuturnya.
Meskipun demikian,
Hipotesis Sapir-Worf memunculkan kontroversi dalam dua hal. Pertama Apakah
benar bahwa struktur bahasa menentukan cara kita berfikir, bukan justru
sebaliknya pikiran yang menentukan strukktur bahasa? Kontroversi kedua adalah
dalam kaitannya dengan universalnya bahasa.[3] Walaupun
dalam perkembangannya, hipotesis
Sapir-Whorf ditanggapi secara pro dan kontra, namun hal itu telah mengakibatkan
fenomena bahasa dan budaya semakin sering dikaji oleh para ahli bahasa.
Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh
sifat-sifat bahasanya. Misalnya, katanya dalam bahasa-bahasa yang mempunyai
kategori kala atau waktu, masyarakat penuturnya sangat menghargai dan sangat
terikat oleh waktu. Segala hal yang
mereka lakukan selalu sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan.[4] Dan
sebaliknya, dalam bahasa-bahasa yang tidak mempunyai kategori kala,
masyarakatnya sangat tidak menghargai waktu.
Bahasa berkaitan erat dengan budaya. Bahasa adalah
bagian dari budaya. Hal ini tampaknya sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa bahasa
menunjukkan atau cermin dari jiwa suatu bangsa, sesuatu yang tampak dalam budaya
akan tercermin dalam bahasa dan sesuatu yang tampak dalam bahasa akan tercermin
dalam budaya. [5] Bahasa sebagai salah
satu unsur kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Bahasa memungkinkan seseorang mengadakan komunikasi dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
kebudayaan
manusia tidak akan dapat terjadi tanpa adanya bahasa. Bahasa inilah
memungkinkan terbentuknya suatu kebudayaan. Inilah salah satu hubungan antara
kebudayaan dan bahasa. Hubungan kebudayaan dan bahasa yang lainnya adalah bahwa
bahasa sebagai suatu sistem komunikasi, akan mempunyai makna hanya dalam
kebudayaan yang menjadi wadahnya. Ini artinya untuk bisa mengerti suatu bahasa,
setidaknya juga harus paham dengan kebudayaannya. Demikian sebaliknya, untuk
memahami kebudayaan suatu daerah atau suatu negara akan lebih sempurna apabila
juga memahami bahasanya.
Hubungan antara
kebudayaan dan bahasa juga dapat dilihat pada sisi yang lain, yaitu bahasa
merupakan kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan. Oleh
karena itu, dalam mempelajari suatu kebudayaan diperlukan juga mempelajari
bahasanya.Menurut Nababan, ada dua macam hubungan antara kebudayaan
dan bahasa. Kedua hubungan itu adalah:
(1) Bahasa adalah bagian dari kebudayaan
(2) jika seseorang belajar kebudayaan, harus melalui
bahasanya.
Hubungan yang pertama disebut dengan
hubungan filogenetik, sedangkan hubungan yang kedua disebut ontogenetik
[6]
Melville
J.Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. (Cultural-Determinism).
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain. kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,
nilai, norma dan pengetahuan serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dll, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni,
dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan,
sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin dalam bahasa.
kebudayaan selalu tumbuh bersama dengan berkembangnya masayarakat. Hubungan
antara bahasa dan kebudayaan merupakan merupakan hubungan yang subordinatif,
dimana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan. Namun ada juga yang mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni
hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Bahasa dan kebudayaan
merupakan dua system yang “melekat” pada manusia.[7] Kalau
kebudayaan merupakan satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam
masyarakat, maka kebahasaan adalah
sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
2. Kategori-kategori Kognitif
Kategorisasi adalah cara-cara berpikir manusia
sebagai tanggapan terhadap berbagai macam informasi yang diterima melalui panca
indera, dan bagaimana memprosesnya dalam pikiran dan membaginya dalam
kelompok-kelompok untuk penyimpanan dalam ingatan dan menemukannya kembali
dengan mudah. Kelompok-kelompok konsep yang dihasilkan pengolahan pikiran itu
disebut kategori.[8] Di
antara kategori-kategori tersebut adalah:
1.
Bilangan
Kebanyakan bahasa mempunyai cara tertentu untuk
mengungkapkan untuk mengungkapkan kategori bilangan. Ada yang disebut
tunggal-jamak seperti kata rumah dan rumah-rumah, dalam bahasa Arab كتاب – كتب. Ada juga bahasa yang mempunya empat
kategori bilangan, yaitu tunggal, dual, trial, dan plural.
2. Peniadaan (Negation). Misalnya: buruk bisa diartikan
tidak baik, dalam istilah bahasa Inggris : good – ungood, beautiful
–unbeautiful.
3. Sebab dan Akibat.
Suatu bahasa biasanya mempunyai ungkapan-ungkapan
yang berbeda kompleksitas kata atau bentuknya untuk keadaan, perubahan keadaan
dan sebab perubahan keadaan. Misalnya: untuk perubahan keadaan kita sering
mendengan istilah kata besar dan membesar, panjang dan memanjang dll.
4. Waktu
Dalam semua bahasa ada perbedaan antara waktu
sekarang dan waktu yang akan datang, dalam bahasa Indonesia kita mengenal
istilah telah, pernah, sudah, atau dalam bahasa Arab ada fiil madi, mudhari’.
Proses kognitif adalah proses untuk memperoleh
pengetahuan di dalam kehidupan yang diperoleh melalui pengalaman.[9]
Kemampuan kognitif manusia ditentukan oleh memori yang tersimpan dalam otak. Di dalam otak manusia, terdapat sebuah memori
jangka panjang yang terdiri dari memori semantik dan memori episodis.
Memori semantis berkaitan dengan unsur-unsur makna bahasa dan tidak berkaitan
dengan lingkup ruang atau waktu, sedangkan episodis mengandung informasi yang
berkaitan dengan pengalaman seseorang dalam lingkup ruang dan waktu.
Pengetahuan dan pengalaman seseorang sebagai sumber
informasi disimpan dalam otak sebagai kesatuan mental yang disebut konsep. Berbagai bentuk rangsangan dan informasi yang
diterima seorang manusia ditata sebagai konsep berdasarkan prinsip persamaan
dan perbandingan.[10] Prinsip
persamaan memungkinkan seseorang untuk mengenali obyek yang sama walaupun dalam
kurun waktu dan ruang yang bebeda.
Seseorang yang berpikir dengan teratur akan
tercermin dalam ekspresi bahasa yang teratur pula. Ekspresi yang menarik
menunjukkan kesanggupan berbahsa untuk menerjemahkan imajinasi, karena pikiran
merajut argumen, sedangkan tata bahasa merajut kalimat, dan kosa-kata adalah
simbol dari konsep-konsep. Simpul konsep ini membentuk satu jaringan semantis
sehingga kata-kata mempunyai makna. Artinya, berfikir seperti halnya berbahasa
harus dikembangkan lewat pembelajaran, baik formal maupun informal.[11]
3. Kategori-kategori
Sosial
Kategori sosial berakar pada keadaan hidup manusia
sebagai makhluk sosial. Terdapat empat kelompok kategori yakni:
1. Perkerabatan.
Hampir semua bahasa membedakan paling sedikit 3 dasar
dalam prinsip perkerabatan yakni generasi, hubungan darah, jenis kelamin.
2. Kata ganti orang.
Kata ganti orang diperlukan dalam percakapan, seperti
pembicara (saya), lawan bicara (engkau/kamu), orang ketiga (dia, beliau,
mereka).
3. Ungkapan Sapaan
Adalah kata atau istilah yang dipakai orang kepada
lawan bicara berkaitan erat dengan hubungan pembicara dengan lawan bicara ,
biasanya terdiri dari, nama kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga,
nama hubungan perkerabatan dengan nama seorang kerabatnya.
4. Kelas sosial
4. Pengaruh Bahasa Pada Pikiran
Ada
ungkapan Arab, alinsan hayawan nathiq, artinya manusia adalah hewan yang
mampu berpikir. tampaknya, klaim ini tidak otomatis berarti bahwa setiap
manusia mampu berpikir kritis. Mungkin lebih tepat diartikan sebagai makhluk
yang memiliki potensi untuk berpikir kritis, seperti halnya potensi atau bekal
kodrati (innate capacity) untuk menguasai bahasa yang dominan di
lingkungannya. Manusia pada fitrahnya atau secara genetis diberi kemampuan berbahasa. Kemampuan itu
secara potensial ada dalam otak manusia. Chomsky (1957) menyebutnya Language
Acquisition Device (LAD). Salah satu teorinya yang terkenal Innate Hypothesis, yang menyatakan bahwa
kemampuan berbahasa pada manusia sudah ada sejak lahir. Bahasa bukanlah sekadar persoalan semantik, melainkan juga berkaitan dengan persoalan logika, estetika, dan
etika.
Bahasa
tidak hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan
pikiran manusia. Oleh
itu, bahasa adalah perantara dan pembentuk budaya seseorang tentang apa yang
difikirkannya. Seseorang individu tidak mampu berfikir dalam acuan orang lain.[12]
Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain
akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Misalnya dalam
masyarakat tutur Indonesia kalau ada yang memuji dengan mengatakan: “Bajumu
bagus sekali!”, atau “Wah, rumah saudara besar sekali?”, maka yang
dipuji akan menjawab pujian itu dengan nada menolak dan merendah, “ah ini
Cuma baju murah ko?”, atau “yah, beginilah namanya juga rumah di
kampung?”. Tetapi kalau hal itu terjadi dalam budaya barat, tentu akan dijawab
dengan ucapan: “Terima kasih!”. Dalam budaya Indonesia, informasi (dalam
bentuk tindak tutur) lebih sering disampaikan secara tidak langsung dengan
menggunakan bahasa kias atau bahasa isyarat. Tetapi dalam budaya barat lebih
umum disampaikan secara langsung dengan alat komunikasi verbal.[13]
DAFTAR
PUSTAKA
Chair
Abdul, Sosiolinguistik: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
Chair, Abdul, Linguistik
Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003).
Dardjowidjoya
Soejono Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005).
Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT
Lauder, Pesona Bahasa; Langka Awal Memahami Linguistik, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005).
Sri Utari Subyakto, Nababan, Psikolingustik
Suatu Pengantar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992)
[1] Soejono
Dardjowidjojo, Psikolinguistik
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005. Hal. 286
[2]http://72.14.235.104/search?q=cache:gHWE2NmxedUJ:www.pusatbahasa.depdiknas.go.id/showpenuh.php%3Finfo%3Dartikel%26actionTree%3Dopen%26id%3D1%26infocmd%3Dshow%26infoid%3D36%26row%3D1+hubungan+berbahasa+dengan+berfikir&hl=id&ct=clnk&cd=12&gl=id
[3]Soejono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar. Hal. 287-288
[4] Abdul
Chair, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Hal. 70
[5]http://72.14.235.104/search?q=cache:SRQ3uZoKPFkJ:www.depdiknas.go.id/jurnal/57/j57_06.pdf+hubungan+bahasa+dengan+budaya+sangat+erat&hl=id&ct=clnk&cd=7&gl=id
[6]http://72.14.235.104/search?q=cache:e6H_dd743jsJ:subadra.wordpress.com/2007/03/14/hubungan-dan-permasalahan-antara-pariwisata-kebudayaan-dan
bahasa/+hubungan+bahasa+dengan+budaya+sangat+erat&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id
[7] Abdul
Chaer, Sosiolinguistik, . Hal. 165
[8] Sri
Utari Subyakto, Nababan, Psikolingustik Suatu Pengantar, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992) Hal. 141.
[9] Kushartanti, Untung Yuwono,
Multamia RMT Lauder, Pesona Bahasa; Langka Awal Memahami Linguistik,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Hal. 15.
[10] Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT
Lauder, Pesona Bahasa. Hal. 15.
[12]http://72.14.235.104/search?q=cache:bwIXKsvuo8EJ:www.pkpim.net/modules/news/article.php%3Fstoryid%3D169+hubungan+berbahasa+dengan+berfikir&hl=id&ct=clnk&cd=11&gl=id
[13] Abdul
Chaer, Sosiolinguistik, Sebuah Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Hal. 171
Tidak ada komentar:
Posting Komentar