Oleh: Nita Zakiyah, M.A
1.
Pendahuluan
Gender dapat dikatakan sebagai sebuah sub-kategori gramatikal pada
bahasa berfleksi yang mampu membedakan jenis kelamin. Subkategori gramatikal
yang berhubungan dengan jenis kelamin adalah bentuk maskulin dan feminin.
Sedangkan yang tidak, berhubungan adalah bentuk neuter atau netral (Kridalaksana,
2008). Istilah gender berarti penggolongan kata menurut jenis kelamin yaitu feminin
untuk kata benda
yang menunjuk pada jenis kelamin perempuan atau betina dan maskulin untuk kata
benda yang menunjuk pada kata berjenis kelamin laki-laki atau jantan. Penandaan
yang berkenaan dengan gender dalam bahasa ditandai oleh bentuk-bentuk
satuan lingual tertentu, baik berupa fonem, morfem, maupun leksikal.
Bentuk-bentuk satuan lingual inilah yang disebut penanda gender.
Kata serapan dalam bahasa atau lebih tepatnya antarbahasa, keberadaannya
merupakan suatu hal yang sangat wajar. Karena setiap kali ada kontak bahasa
lewat pemakainya pasti akan terjadi penyerapan kata.
Tidak ada dua bahasa yang sama persis, karena setiap bahasa mempunyai
keistimewaan masing-masing. Dalam proses penyerapan, dari bahasa pemberi memberi
pengaruh kepada bahasa penerima pengaruh, sehingga akan terjadi
perubahan-perubahan. Adapun proses penyerapan ada yang terjadi secara utuh, ada
pula proses penyerapan yang terjadi dengan beberapa penyesuaian pada tataran
fonetik, fonologi, morfologi, dll; baik yang terjadi dalam bahasa lisan maupun
bahasa tulis.
Bahasa Indonesia dari awal pertumbuhannya sampai sekarang telah
banyak menyerap unsur-unsur asing terutama dalam hal kosakata. Bahasa asing yang memberi
pengaruh kosakata dalam bahasa indonesia antara lain: bahasa Sansekerta, bahasa
Belanda, bahasa Arab, dan bahasa Inggris. Masuknya unsur-unsur asing ini secara
historis juga sejalan dengan kontak budaya antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa pemberi pengaruh. Mula-mula bahasa Sansekerta seiring dengan
masuknya agama hindu ke Indonesia sejak sebelum bahasa Indonesia menemukan
identitas sebagai bahasa Indonesia. Kemudian bahasa Arab karena eratnya
hubungan keagamaan dan perdagangan antara masyarakat Timur Tengah dengan bangsa
Indonesia. Lalu bahasa Belanda sejalan dengan pendudukan Belanda di Indonesia.
Dan bahasa Inggris yang berlangsung hingga sekarang, Salah satu faktor penyebabnya
adalah semakin intensifnya hubungan ilmu pengetahuan dan teknologi antara bangsa Indonesia dengan masyarakat
pengguna bahasa Inggris.
Sejalan dengan Bahasa
Indonesia bukan termasuk bahasa fleksi yang memiliki satuan-satuan lingual yang
meliputi penanda jumlah (number), penanda kala (tenses), dan
penanda jenis kelamin (gender). Bahasa indonesia banyak menyerap kata yang berfungsi sebagai penanda jenis kelamin (gender) dan berwujud sebagai morfem, misalnya morfem
imbuhan: -man, -wan, -wati, -in, -at. Morfem –man, -wan, -in
menunjukkan gender maskulin, sedangkan –wati, -at mengacu pada geneder
feminin. (Triyono, 2003: 317)
Kajian ini akan di uraikan berdasarkan kajian morfologi yang mengarah
pada penanda gender unsur serapan dalam bahasa Indonesia,
yakni kata serapan yang telah mengalami proses
analogi atau proses afiksasi (suffiks).
2. Kata Penanda
Jenis Kelamin (Gender)
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang penanda
gender unsur serapan pada bahasa Indonesia, akan diklasifikasikan dua jenis
penanda gender:
1)
Penanda jenis kelamin yang ditandai dengan
vokal yang melekat pada akhir kata, baik pada suku kata terbuka maupun pada
suku kata tertutup. Dan kasus yang ditemukan disini
adalah serapan yang di ambil dari bahasa Sansekerta dan bahasa Inggris.
Bahasa
Sansekerta
Bahasa Sansekerta merupakan salah satu bahasa
yang memiliki kategori penanda gender, klasifikasi gender pada bahasa ini
terdiri dari tiga: maskulin), feminin), dan neuter atau bersifat netral
(laki-laki dan perempuan), sebagaimana bahasa-bahasa Indo-Eropa lain yang
‘berusia’ lebih tua (Whitney, 1964:88).
Kata penanda gender yang diserap dari bahasa Sansekerta,
penandanya adalah vokal akhir suku terbuka yang merupakan bagian dari morfem,
yaitu /-a/ mengacu pada gender maskulin dan /-i/ mengacu pada gender feminin.
Seperti:
Laki-laki
|
Perempuan
|
Putra
|
Putri
|
Dewa
|
Dewi
|
Pramugara
|
Pramugari
|
Selain itu, ada pula kata penanda gender feminin
yang tidak produktif, lalu dalam bahasa Indonesia di analogikan dan hasil
analoginya berupa kata penanda gender perempuan. Seperti pada kata Mahasiswa, /-a/ kemudian muncul
analogi dalam bahasa Indonesia dengan perubahan vokal akhir suku terbuka /-i/
menjadi “mahasiswi”. Hal yang sama terjadi pula pada kata:
Siswa
→ Siswi
Saudara → Saudari
Bahasa
Inggris
Kata penanda gender serapan yang ditemukan
dalam bahasa Inggris misalnya: aktor (actor) yang merupakan kata
penanda gender laki-laki yang bermakna: pria
yang berperan sebagai pelaku dalam pementasan cerita, drama, dsb. di panggung,
radio, televisi, atau film; orang yang
berperan dalam suatu kejadian penting; sekaligus pula kata penanda gender perempuannya aktris
(actress): wanita
yang berperan sebagai pelaku dalam pementasan drama dsb. di panggung, radio,
televisi, atau film. Pada bahasa asalnya (bahasa Inggris) actor → act – or;
act (verb): berbuat; bertindak, (noun): perbuatan;
tindakan, /-or/ merupakan morfem yang mengacu pada gender maskulin.
Sedangkan actress → act – ress; /-ress/ merupakan
penanda gender feminin. Namun dalam serapan bahasa Indonesia pada morfem aktor,
bukanlah termasuk dua morfem sebagaimana kata asalnya, namun hanya satu morfem aktor.
Suku kata Akt – or tidak akan ada maknanya, karena dalam bahasa
Indonesia tidak memiliki kata dasar akt dan sufiks –or, keduanya
dianggap dua silabe, bukan dua morfem. Jadi, aktor merupakan kata
penanda gender serapan dengan vokal suku tertutup, begitu pula pada kata
penanda gender femininnya aktris.
Kata penanda gender feminin yang tidak
produktif pada kata serapan dari bahasa Inggris, seperti pada kata kontraktor
(contractor): pemborong (pekerja bangunan). Karena dalam bahasa asalnya yakni bahasa Inggris juga tidak
ditemukan contractrees, dengan demikian dalam bahasa Indonesia pun tidak
ditemukan kontraktris; lantas, kata kontraktor (contractor) masuk
kedalam kategori netral yang berlaku untuk maskulin dan feminin.
2. Penanda jenis kelamin yang kedua, ditandai dengan akhiran (sufiks), penanda
ini merupakan serapan dari bahasa sansekerta dan bahasa arab. Yaitu:
Bahasa Sansekerta
Akhiran /-wan/ dan /-wati/,
dalam bahasa Sansekerta -wan (-vant): sebuah imbuhan sufiks yang
menyatakan pelaku pria, sedangkan -wati (-vatī): sebuah imbuhan
sufiks yang menyatakan pelaku wanita (http://sastralife.wordpress.com).
Akhiran atau sufiks –wan dan –wati kini telah menjadi afiks dalam bahasa
Indonesia (Arifin dan Junaiyah, 2007:6). Seperti
pada kata:
wartawan dan wartawati
dermawan dan dermawati
wisudawan dan wisudawati
Ada pula bentuk penanda gender feminin yang tidak produktif,
sehingga hanya ditemukan kata maskulinnya saja, seperti pada kata: Budayawan. Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta
yang artinya “budaya, budi daya, buah akal budi, adat”, namun penulis tidak
tahu persis apakah kata budayawan memang merupakan kosakata asli bahasa Sansekerta
ataukah hanya analogi bahasa Indonesia yang menyerap kata tersebut dan
menggabungkan kedua morfem budaya dan -wan menjadi kata yang
independen “budayawan”.
Meski telah ada penanda jelas yang menandai
identitas maskulin dan feminin, tetapi bentuk maskulin sering digunakan sebagai
bentuk netral untuk mewakili bentuk feminin. Karena itu bentuk maskulin lebih dipandang sebagai bentuk netral daripada bentuk distingtif
gender.
Bahasa
Arab
Pada bahasa Arab, Sufiks /-in/ berfungsi sebagai penanda
gender laki-laki dan sufiks /-at/ sebagai penanda gender perempuan, dalam
bahasa Arab kata yang berakhiran /-in/ dan /-at/ menunjukkan
bentuk jamak untuk nomina dengan jumlah lebih dari dua, seperti pada kata muslimin, kata ini terdiri dari dua morfem
muslim dan -in → muslimin. Begitu pula pada bahasa Indonesia, mengacu
pada makna jamak, artinya “para penganut agama Islam; laki-laki muslim”; serta muslim
dan -at → muslimat artinya “perempuan muslim”. Begitu pula pada kata mukminin artinya ”(para) mukmin”; dan mukminat
“perempuan mukmin”, dll.
Sufiks /-in/ dan /-at/ pula telah menjadi
bagian dari afiks bahasa Indonesia. Ruskhan (2007:53) menggunakan istilah
pangkal + sufiks pada pembentukan kata-kata tersebut di atas.
Laki-laki
|
Perempuan
|
Muslimin
|
Muslimat
|
Mukminin
|
Mukminat
|
Shalihin
|
Shalihat
|
Jika tadi bentuk jamak (plural), ada pula bentuk tunggal
dalam bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu untuk laki-laki
tanpa penanda, dan sufiks /–ah/ untuk penanda gender perempuan. Seperti pada: kata Almarhum: yg
dirahmati Allah (sebutan kepada orang Islam yang telah meninggal); yang telah
meninggal (laki-laki); dan Almarhumah: almarhum (untuk perempuan).
Lain-lain
Bentuk lain pada Kata penanda gender bisa ditemukan pada kombinasi antara 2 morfem dari 2 bahasa yang berbeda, seperti pada:
v Seniman, kata seniman merupakan kombinasi antara dua morfem seni (artinya kesenian, keindahan) dari bahasa
Sansekerta, dan morfem -man (orang laki-laki) dari bahasa Inggris; kombinasi dua morfem tersebut menjadi kata seniman
dalam KBBI artinya “orang yg
mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni
(pelukis, penyair, penyanyi, dsb.)”
v Sejarawan, pada kata sejarawan terdiri dari dua morfem sejarah dan -wan,
kata sejarah merupakan kosakata bahasa Indonesia yang kemudian
diberi akhiran/sufiks -wan dan
mengalami penyesuaian dalam proses morfofonemiknya hingga menjadi sejarawan
bermakna “ahli sejarah; penulis sejarah”.
v Ilmuwan, kata ilmuwan, morfem dasar ilmu berasal dari bahasa Arab
yang diserap ke dalam bahasa Indonesia yang kemudian mendapat imbuhan -wan dan menjadi kata ilmuwan: orang
yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu; orang yang
berkecimpung dalam ilmu pengetahuan.
Jika diperhatikan, kata-kata tersebut diatas semuanya menunjukkan pada gender laki-laki, hal ini
terjadi karena ketidak produktifan kata penanda gender perempuan pada kata-kata
tersebut. Dengan demikian kini kata-kata tersebut bersifat netral, berlaku untuk
gender laki-laki dan gender perempuan.
Lantas, pada penanda gender unsur serapan
disini, penulis tidak menemukan kata penanda gender serapan dari bahasa Belanda.
3. Kesimpulan
Bahasa indonesia banyak menyerap kata-kata dari
bahasa lain seperti bahasa sansekerta, bahasa Arab, bahasa Inggris, dll. Saling
menyerap kosakata antar bahasa adalah hal yang sangat lazim, dan
serapan-serapan tersebut diantaranya mengenai kata penanda gender.
Bahasa Indonesia juga tidak memiliki rumusan
khusus pada kata untuk menunjukkan gender, dengan demikian bahasa Indonesia
menyerap kata-kata pada bahasa-bahasa lain yang menunjukkan gender, seperti putra
dan putri, wartawan dan wartawati dari bahasa Sansekerta; aktor
dan aktris dari bahasa Inggris; muslimin dan muslimat dari
bahasa Arab, dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta:
Gramedia.
Purwadi, dan Eko Priyo Purnomo. Kamus Sansekerta Indonesia. Yogyakarta:
Budaya Jawa.Com
Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Republik
Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php.
di akses pada 19 12 2009. 09.37.
Triyono, Sulis. 2003. Satuan Lingual
Penanda Gender. Dalam Jurnal Humaniora (Jurnal Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada) Volume XV, No.3/2003.
Whitney, William Dwight. 1964. Sanskrit
Grammar Including Both The Classical Language And The Older Dialects of Veda
And Brahmana. Cambridge: Harvard University Press.
Sastraholic. Bahasa Sansekerta Dalam Bahasa
Indonesia. http://sastralife.wordpress.com/sastra-indonesia/bahasa-sangsekerta-dalam-bahasa-indonesia/.
Di akses pada 09 12 009. 07.30 WIB.
Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2007. Morfologi:
Bentuk, Makna, dan Fungsi. Jakarta: Grasindo.
Ruskhan, Abdul Gaffar. 2007. Bahasa Arab
Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Wojowasito, S. dan Tito Warsito W. 1980. Kamus
Lengkap: Inggris – Indonesia; Indonesia Inggris. Bandung: Hasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar