I. Pendahuluan
Bahasa melayu adalah anggota terpenting dari
kerabat bahasa Austronesia yang muncul dari peradaban Asia timur pada sepuluh
ribu tahun yang lalu, bahasa melayu pula termasuk kerabat besar dari berbagai
bahasa, seperti hubungan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa Madagaskar.
Asal mula Bahasa Melayu, menurut sebagian
besar ahli terkemuka dalam bidang arkeologi Austronesia dan linguistik
komparatif adalah bagian barat Kalimantan. Dan merupakan turunan bahasa
Austronesia purba, dimulai kurang lebih dua juta tahun yang lalu sebagai satu dari beberapa varian bahasa yang saling
berhubungan erat dan digunakan di Kalimantan Barat. Kemudian pada penutur
bahasa Melayu menyebar melalui perairan searah jarum jam di sepanjang pantai
utara Kalimantan dan kemudian menuju ke selatan dan kembali menuju barat,
sehingga hampir sebagian besar daerah dengan sistem perairan yang penting dari
seluruh pulau di Kalimantan memiliki
permukiman dengan penutur Bahasa Melayu.
Bahasa Melayu yang telah menyebar di berbagai
daerah disebut sebagai dialek-dialek Melayu yang berada di dalam dan luar
negeri, salah satunya adalah dialek Melayu Betawi –selanjutnya disebut DMB-. Menurut
Muhadjir (2000:x) DMB berkaitan erat dengan kelompok masyarakat Betawi yang
diakui sebagai kelompok etnis “inti” penduduk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Kelompok etnis itu, selain menghuni sebagian daerah pemukiman di Jakarta, juga
berdiam di daerah pinggiran Jakarta, antara lain di Depok, Cisalak, Ciputat,
dan Bekasi. Sebagai kelompok etnis, secara historis mereka sudah mulai terbentuk
sejak awal abad ke-17, sebagai hasil “percampuran” berbagai unsur etnis yang
menghuni wilayah Batavia kala itu. Mereka antara lain terdiri atas kelompok
etnis Sunda, Jawa, Bali, berbagai kelompok yang sengaja didatangkan VOC, dan
kaum mardijkers yang mulanya berasal dari daratan India.
Di kalangan awam bahkan juga di sebagian ahli
bahasa dan kebudayaan ada yang beranggapan bahwa bahasa atau dialek Betawi itu
sama dengan bahasa atau dialek Jakarta. Dialek betawi sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, sedangkan dialek Jakarta Muhadjir berpendapat bahwa
penamaan dialek Jakarta lebih bersifat geografis, bukannya etnis seperti bahasa
atau dialek Betawi. Penamaan bahasa atau dialek Jakarta baru muncul baru-baru
ini di masa mutakhir, katakanlah sejak kemerdekaan. Jakarta sebagai pusat
pemerintahan, dan juga sebagi pusat kebudayaan, menyebabkan banyak kelompok
masyarakat yang semula menghuni wilayah tertentu dan terkenal sebagai etnis
tertentu, berdatangan di Jakarta. Namun pada hakikatnya, antara istilah dialek
melayu betawi dan dialek melayu jakarta adalah sama dan hanya merupakan
perbedaan istilah semata.
Dalam setiap bahasa memiliki karakteristik
pada sisi linguistik dalam berbagai tataran, fonologis, morfologis, sintaksis,
dll. Begitu pula pada DMB yang memiliki karakteristik tersendiri seperti pada
tataran leksikal, dan fonologis. Juga pada tataran morfologis yaitu pada
pembentukan kata dasar dengan gugus konsonan.
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan keterangan di atas, dirumuskan
masalah-masalah berikut:
1. Bagaimana sejarah DMB dan perkembangannya?
2. Karakteristik pada tataran morfologis pada dialek melayu banyak ditemukan
gugus konsonan, apa saja gugus konsonan yang terdapat dalam DMB?
III. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Mendeskripsikan sejarah dan perkembangan DMB.
2. Mengetahui karakteristik DMB pada tataran morfologi.
Adapun Manfaat penelitian ini, diharapkan dapat memberi
kontribusi dalam memahami sejarah dan perkembangan, serta mengetahui
karakteristik DMB pada tataran morfologis yaitu dalam pembentukan kata dasar.
IV.
Pembahasan
4.1. Sejarah Dialek Melayu Betawi
4.1.1. Penduduk
Berbeda dengan bahasa-bahasa daerah dan dialek
melayu lainnya yang ada di Indonesia seperti Melayu Medan, Riau, dan
Palembang, DMB tidak didukung oleh
kelompok etnis yang homogen. Percampuran penduduk yang berasal dari berbagai
kelompok etnis yang beragam sudah terjadi sejak abad -17. Hal ini disebabkan
oleh migrasi dari dalam maupun luar Indonesia. Bahkan hingga kini migrasi masih
terus terjadi hingga terjadi percampuran dari berbagai etnis yang berbeda latar
belakang sosial dan kebudayaan (Muhadjir, 1984:1).
Bermula ketika Jan Pieterszoon Coen berhasil
menduduki kota Jakarta pada tahun 1619, sebagian penduduk asli Jakarta
melarikan diri ke arah Banten. Kemudian dengan alasan keamanan, Coen berusaha
menutup kota Jakarta dari penduduk pedalaman dan berusaha menghalangi penduduk
asli yang ingin kembali ke daerah pertanian yang sebelumnya telah ditinggalkan
(Leirissa, 1973: 14-31).
Sejak peristiwa itu, kota Jakarta bersih dari
penduduk asli. Hingga beberapa tahun kemudian Coen membiarkan orang Cina
menjadi penduduk kota, yang disusul oleh orang-orang Banda, Pedagang
rempah-rempah Jepang yang bertahan hingga tahun 1636 dan merupakan unsur penting
penduduk kota Jakarta. Selain yang telah disebutkan di atas, kota Jakarta juga
dihuni oleh penduduk merdeka lainnya yang meliputi suku-suku Melayu, Bali
Bugis, Ambon, serta bangsa “Moors”, yaitu bangsa India Selatan yang
beragama Islam (Castles dalam Muhadjir, 1984:2).
Namun selain penduduk merdeka, penduduk yang
terbesar saat itu hingga abad ke-19 adalah para budak yang didatangkan dari
berbagai tempat. Pada awalnya budak-budak yang diangkut ke Jakarta adalah para
budak yang berasal dari pantai Koromandel, dari Malabar, Benggali, dan yang
berasal dari Indonesia Timur seperti Flores, Sumbawa, Sumba, timor, Nias,
Kalimantan, dan pulau Luzon. Meskipun demikian, sumber tetap para budak adalah
Bali dan Sulawesi Selatan. Hingga pada akhir abad ke-19 kelompok etnis yang
berasal dari aneka ragam yang telah disebutkan di atas telah menjadi penduduk
asli Jakarta yang kini dikenal dengan nama “Anak Betawi”, termasuk di dalamnya
5000 penduduk pinggir kota yang berasal dari Jawa dan Sunda.
Sedangkan pada umumnya, penduduk merdeka dari
berbagai kelompok etnis tersebut tinggal di kampung-kampung secara
terpisah-pisah. Sisa nama kampung tempat tinggal mereka masih melekat pada nama
kampung, seperti kampung Jawa, kampung Bugis, kampung Ambon, dan lain
sebagainya.
Dan setelah perdagangan budak dihapuskan,
pulau Jawa merupakan sumber migrasi penduduk ke kota Jakarta, apalagi sejak
zaman Republik Indonesia, arus urbanisasi ke ibukota makin ‘mengalir deras’,
para pendatang baru itu bukan hanya jumlahnya makin banyak, tetapi juga makin
beraneka asal dan memiliki status sosial yang beragam.
4.1.2. Bahasa
Menurut Castles (1967: 158) hingga abad -18,
bahasa yang menjadi lingua franca adalah salah satu dialek portugis, yakni
suatu dialek yang dibawa oleh para budak dari India, yang di tanah asalnya saja
sudah merupakan bangsa campuran. Kemudian pemakaian dialek Portugis itu
berangsur-angsur mengurang pada abad ke -19, digantikan oleh bahasa Melayu
jakarta, yang merupakan salah satu enklafe bahasa melayu (dialek).
H.N Vander tuuk pernah melakukan kekeliruan
dengan mengira bahwa bahasa yang dipakai di Jakarta merupakan sejenis bahasa
Bali rendah, yang kemudian dibantah oleh Hans Kähler (1966 dalam Muhadjir,
1984:2) dan menunjukkan bahwa dari segi kosakatanya, DMB adalah dialek melayu
dengan unsur-unsur Bali, Jawa, Sunda, Cina, Arab, Portugis, Belanda, dan
Inggris.
Adapun inventarisasi fonem pada DMB adalh
sebagi berikut, yakni 26 fonem-fonem segmental, yang terdiri dari 19 fonem
konsonan dan 7 buah fonem vokal.
Fonem Vokal
depan
|
pusat
|
belakang
|
|
i
|
-
|
u
|
tinggi
|
e
|
«
|
o
|
tengah
|
ε
|
a
|
-
|
rendah
|
Fonem Konsonan
labial
|
alveolar
|
palatal
|
velar
|
glotal
|
|
b
|
d
|
j
|
g
|
?
|
bersuara
hambat tak bersuara
|
p
|
t
|
c
|
k
|
|
|
m
|
n
|
ň
|
ŋ
|
|
nasal
|
|
l
|
|
|
|
lateral
|
|
r
|
|
|
|
getaran
|
|
s
|
|
|
h
|
geseran
|
w
|
|
y
|
|
|
semivokal
|
Menurut Muhadjir, Kay Ikranegara peneliti
Amerika yang bersuamikan orang Indonesia, menyimpulkan hasil perhitungannya
berdasarkan kosakata Swadesh bahwa 93% kosakata dasar DMB kini sama dengan
kosakata bahasa Indonesia yang merupakan salah satu variasi bahasa Melayu pula
(sama-sama salah satu dari dialek Bahasa Melayu). Sedangkan sisanya yang hanya
sebesar 7% berasal dari bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Cina.
Perbedaan mendasar dari tataran fonem antara
DMB dan Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut, (1) ciri pelafalan atau tata
ucapnya. Yaitu banyak ditemukan vokal é pada kosakata DMB, contohnya seperti
pada kata: apé, adé, ayé, dll. Sedangkan pada bahasa
Indonesia vokal /é/ menjadi /a/ → apa, ada, saya. (2) banyaknya suku akhir yang berakhiran « (pepet) dengan konsonan seperti: dat«ŋ, b«k«l, bar«ŋ, dan sebagainya. Dan pada bahasa Indonesia →
datang, bekal.
Sedangkan pada tataran kata, perbedaan antara
keduanya adalah (1)penggantian awalan me- bahasa Indonesia dengan hanya
nasal saja seperti ngambil “mengambil”, ngambek “marah”, ngusir
“mengusir”, dan sebagainya. (2)adanya suffiks –in dalam verba DMB
seperti pada kata: ndatengin “mendatangi”, ngumpetin
“menyembunyikan”, nguntitin “mengikuti”, dll.
Pada tataran kosakata, perbedaannya antara
lain adanya kata ganti orang gue dan lu, juga terdapat banyaknya
kata sambung seperti dong, deh, kok, si, kek,
dll. Dan ciri lainnya adalah dalam bahasa sehari-hari, biasanya orang Betawi
menghitung dengan memakai hitungan bahasa Cina: cepek, gopek,
dll.
Pada umumnya perbedaan antara DMB dengan
bahasa Indonesia bersifat sistematis, sehingga kaidah-kaidah perbedaan antara
keduanya bisa diketahui dengan mudah dan disusun secara sistematis.
4.1.3. Variasi Dialek Areal
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa
luas pemakaian DMB melebihi daerah administratif daerah Jakarta. Meskipun
hubungan kebahasaan antar penduduk berlangsung lancar, namun sesungguhnya
dialek itu terbagi-bagi kedalam subdialek geografis tertentu.
Secara garis besar, DMB terbagi menjadi dua
subdialek, (1) subdialek Dalam Kota, dan (2) subdialek Pinggiran. Subdialek
pinggiran adalah yang digunakan di pinggiran kota Jakarta, dan sering disebut
juga dengan nama Betawi ora atau Melayu ora, penyebab timbulnya sebutan itu
adalah karena di daerah pakai subdialek ini yakni pinggiran kota, kata ora
“tidak” yang merupakan leksikon dalam bahasa Jawa sering dipakai berdampingan
dengan leksikon yang maknanya sama → kaga “tidak”. Sebutan itu pula
mencerminkan bahwa dalam subdialek ini banyak menyerap kosakata yang berasal
dari bahasa Jawa. Dan tidak dipakai dalam subdialek Dalam Kota.
Perbedaan di antara keduanya tidak cukup pada
tataran leksikon, namun juga pada ciri fonologis. Dalam subdialek Dalam Kota
sebagian besar vokal akhir yang dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan /a/
menjadi /ε/ pada subdialek
Bahasa Indonesia
|
Subdialek Dalam Kota
|
Subdialek Pinggiran
|
Saya
|
ayε
|
sayah, saya?
|
Apa
|
apε
|
apah, apa?
|
mangga
|
maŋgε
|
manggah, mangga?
|
Perbedaan lainnya adalah pada subdialek
Pinggiran sering muncul konsonan b, d, dan g pada posisi
akhir, sedangkan pada subdialek Dalam Kota tidak ditemukan ketiga konsonan
tersebut pada konsonan akhir.
Secara historis, pada awalnya, subdialek Dalam
kota terbagi sekurang-kurangnya menjadi dua subdialek: (1) subdialek yang
menggunakan vokal akhir /ε/ (pada bahasa Indonesia bervokal akhir /a/),
subdialek ini menyebar di seluruh daerah dalam kota. (2) subdialek yang
menggunakan vokal /«/ pada posisi yang sama. Jadi (s)ayε,
apε, dan maŋgε diucapkan say«, ap«, dan maŋg«, subdialek ini dituturkan di sekitar wilayah
Tanah Abang.
Namun kini batas antar subdialek ini makin
samar dan tidak jelas, akibat urbanisasi yang terus-menerus, bercampurnya
pendatang baru dengan penduduk asli atau penduduk yang telah lama tinggal di
jakarta, pemakaian Bahasa Indonesia yang makin meluas, dan penggusuran dampak
dari pembangunan besar-besaran sehingga penduduk asli banyak yang tergusur.
4.1.4. Perkembangan Dialek Melayu Betawi
Pada masa lampau, kedudukan DMB hanya
dituturkan sebagai bahasa pergaulan di pasar, antar tetangga, dan di tempat kerja,
dan dalam kesenian tradisional saja, tidak seperti sekarang yang menempati
posisi penting karena kini DMB juga telah digunakan dibeberapa media massa.
Pada surat kabar dalam rubrik tertentu bahkan beberapa acara televisipun kini
menggunakan DMB, seperti penggalan-penggalan DMB yang digunakan dalam
sinetron-sinetron yang dapat dinikmati berbagai kalangan, acara lenong yang
hingga kini masih di jumpai di televisi, maupun beberapa acara tertentu.
Sehingga DMB tidak hanya terkenal di daerah pakainya saja, namun meluas di
seluruh Indonesia terutama daerah-daerah yang sudah menggunakan media Televisi
sebagai media informasi. Misalnya saja kata gue yang berasal dari DMB,
kini tidak hanya digunakan di daerah pakainya saja, namun kita dapat menemui
kata tersebut juga dituturkan di berbagai daerah, karena kata gue sudah
di anggap sebagai kosakata ‘gaul’. DMB yang dipakai di luar jakarta menurut Stephen Wallace disebut sebagai
dialek Jakarta Modern.
Dengan demikian, dengan kata lain dibandingkan
masa lampau, kini DMB telah mengalami kemajuan yang amat pesat. penyebab yang
tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa kini kota Jakarta menjadi ibukota yang
dijadikan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan.
Seiringan dengan fenomena tersebut, prestise DMB pun makin menanjak. banyak
para pendatang dari berbagai daerah yang pernah tinggal di Jakarta,
sekembalinya ke daerah mereka masing-masing, dengan bangga menggunakan DMB atau
unsur-unsur khasnya pula banyak digunakan oleh kalangan muda dengan tujuan
untuk memperlihatkan identitas mereka sebagai anak ibukota ‘anak jakarta’.
Peran
DMB berdasarkan perbandingan dengan Bahasa Jawa menurut Ben Anderson (1966:
197) DMB merupakan ngoko-nya Bahasa Indonesia. Dan ia juga berpendapat
dalam tulisannya tentang bahasa-bahasa politik di Indonesia, bahwa DMB adalah
bahasa rakyat kecil yang menjadi bahasa golongan elit Jakarta. Bahasa yang
kasar, lucu, dan intim itu lambat laun menjadi sangat populer di kalangan yang
lebih luas, kemudian dengan sedikit diperhalus, dialek itu menjadi bahasa
pergaulan antar semua golongan masyarakat. Sedangkan Muhadjir menyatakan bahwa
DMB akan menjadi bahasa lisan non-formalnya Bahasa Indonesia, pernyataan
tersebut didasari oleh eratnya hubungan antara DMB dengan Bahasa Indonesia.
4.2. Karakteristik DMB Pada Tataran Fonologis
Setiap bahasa atau dialek memiliki karakteristik
tersendiri, termasuk pada DMB yang memiliki karakteristik pada tataran
fonologis terutama dalam pembentukan kata dasar. Yaitu pembentukan kata dasar
dengan gugus konsonan. Dalam hal penggolongan kata-kata dasar,
kategori-kategori umum yang untuk mengkaji kata dasar yang secara khas memiliki
gugus konsonan adalah: (1) kata- kata pinjaman dari bahasa asing, (2) kata-kata
dasar yang berasal dari bahasa Austronesia, (3) kata- kata dasar yang bermula
dengan nasal dan konsonan.
1. Kata Pinjaman dari Bahasa Asing
Kata-kata yang berasal dari Bahasa Asing merupakan
kata-kata pinjaman bersuku tunggal, dan kata-kata pinjaman bersuku dua atau
lebih. Kata pinjaman yang bersuku tunggal seperti pada kata bros; brén
“senapan mesin ringan” (Belanda:
broche), kata blék “kaleng” (Belanda: blik) dan blok
“rintangan jalan” (Belanda: blok), klép (Belanda: klep); klop
“cocok”, strom “arus listrik”, banyak dari jenis ini yang mempunyai sebuah
varian dengan «, seperti k«lép dan s«trom. Sedangkan kata-kata pinjaman dengan dua suku kata atau
lebih seperti pada kata: blangko “surat isian” (Belanda: blangco),
trigu (Portugal: trigo), trawé “shalat sunnah petang hari selama bulan
puasa” (Arab: tara>wih}).
Pada kata-kata pinjaman dari bahasa asing,
ditemukan banyak sekali gugus konsonan, yaitu: br, bl, pr, pl, dr,tr, tw,
gr, kr, kl, sp, spr, st, str, dan sl. Kata-kata pinjaman biasanya
berpotensi untuk membentuk gugus konsonan, namun pola yang sesuai dan paling
umum adalah menambahkan pepet sebagi vokal penuh yang menyebabkan kata bersuku
dua.
2. Kata Dasar yang Berasal dari Bahasa Austronesia
Gugus konsonan pada kata dasar bersuku tunggal
yang berasal dari bahasa Austronesia adalah br, bl, pr, pl, tr, dan kr.
Kesukutunggalan pada kategori ini merupakan sifat khusus. Terdiri dari hal-hal
yang bentuknya ditentukan oleh simbolisme suara. Uhlenbeck (1978:36)
menyimpulkan bahwa bentuknya mencakup ekspresi-emosi, fonostetik, dan
onomatopik; dengan satu pengecualian pada nama suatu jenis burung tertentu; dan
semua kata dasar yang lain dipakai sebagai interjeksi.
Kata dasar yang berasal dari bahasa
Austronesia pula tidak memiliki varian yang mengandung «, bahkan beberapa dari bentuknya beroposisi
dengan bentuk-bentuk yang mengandung «. Misalnya: brek “bunyi rumah ambruk”,
beroposisi dengan b«r«k “kikir”; bluk-bluk “suara benda besar jatuh ke
atas tanah”, beroposisi dengan b«luk dalam s«luk b«luk “rumit”; blur “suara orang tercebur ke air”,
beroposisi dengan b«lur dalam babak b«lur “luka-luka”; dls.
Sekitar 70 kata dasar bersuku kata dua atau
lebih yang berasal dari bahasa Austronesia diawali dengan gugus konsonan (tidak
termasuk nasal-nasal awal), seperti: bréok “bunyi air dituang”, protok-protok
“bunyi batang bambu terbakar”, dan prétél “lepas, petik”.
Juga terdapat gugus konsonan dr, gr,
gl, dan sr. Namun jenis yang paling lazim adalah gr dan kr,
diikuti oleh pr, br, bl, tr, dan kl. Dengan
demikian semua gugus konsonan mengandung l atau r sebagai anggota
kedua didalam gugus konsonan itu. Hal yang sama berlaku untuk kategori kata
bersuku tunggal. Hanya saja pada golongan unsur-unsur pinjaman dari bahasa
asing, disamping mempunyai bentuk-bentuk sp, spr, str, st dan tw. Terkadang
muncul Gugus konsonan tl, cr, cl,sk (pada skin
atau s«kin “semacam pisau”), dan wr; dan selalu muncul
sebagai varian dari bentuk-bentuk yang mengandung epentesis atau /«/, misalnya: k(«)léwér, dll.
3. Kata Dasar yang Bermula dengan Nasal + Konsonan
Beberapa kata dasar yang bermula dengan nasal
+ konsonan sulit digolongkan kedalam suatu golongan atau golongan lainnya,
seperti: mpo’ “kakak perempuan”; nto, ntu “itu”; ngkong
“kakek”; dll. Sebuah nasal awal yang mendahului konsonan homorganis, dapat
berupa suku kata atau bukan suku kata, ditentukan oleh rangkaian yang membentuk
suatu gugus konsonan. Misalnya pada kata ngga yang banyak digunakan,
dapat dilafalkan dengan salah satu dari dua cara, dengan ng + g
sebagai suku kata atau dengan gugus konsonan ngg. Lafal pertama
terdengan dalam cara berbicara perlahan dan tegas, bahkan nasal dapat
diperpanjang (ng:ga’) atau suara menyerupai vokal dapat disisipkan di
depan nasal itu, seperti dalam kasus epentesis di antara konsonan pertama dan
kedua. Suara ini seringkali diidentifikasi sebagai fonem /«/, sehingga kata itu lalu dianggap sepenuhnya
bersuku dua: «ngga’, meskipun masing-masing kata dasar memiliki
frekuensi yang tidak sama, namun umumnya bentuk dengan « mendominasi pada jenis kata ini. Banyak juga
ditemukan varian tanpa nasal: ga’ disamping ngga’; cing
dan kong disamping ncing dan ngkong; dll. Dengan demikian
golongan kata dasar yang diawali dengan nasal ini dibedakan menjadi dua
kategori:
(a) Nasal, dengan atau tanpa didahului
oleh « merupakan kata dasar bersuku tunggal,
misalnya («)ngga’, («)ncing (varian incing), («)ncang (varian incang).
(b) Reduksi terhadap bentuknya yang
lebih lengkap ngkali (bandingkan dengan barangkali), nti
(bandingkan dengan nanti), mpan (bandingkan dengan di«mpanin “diberi makan”). Di sini nasal umumnya
sebagai suku kata dan jarang dihilangkan.
Kähler (dalam Grijns) mengemukakan adanya tiga
jenis gugus konsonan yang sebagai suku kata yang mengandung m atau n
dan diikuti dengan konsonan bersuara: m + b-, n + n-,
ny-.
V. Kesimpulan dan Penutup
Menurut Muhajir, DMB berkaitan erat dengan
kelompok masyarakat Betawi yang diakui sebagai kelompok etnis “inti” penduduk
wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kelompok etnis itu, selain menghuni sebagian
daerah pemukiman di Jakarta, juga berdiam di daerah pinggiran Jakarta, antara
lain di Depok, Cisalak, Ciputat, dan Bekasi.
Tidak seperti daerah enklafe dialek Melayu lain,
DMB tidak didukung oleh kelompok etnis yang homogen. Percampuran penduduk yang
berasal dari berbagai kelompok etnis yang beragam sudah terjadi sejak abad -17.
Hal ini disebabkan oleh migrasi dari dalam maupun luar Indonesia. Bahkan hingga
kini migrasi masih terus terjadi hingga terjadi percampuran dari berbagai etnis
yang berbeda latar belakang sosial dan kebudayaan.
DMB terbagi menjadi dua subdialek, (1)
subdialek Dalam Kota, dan (2) subdialek Pinggiran. Perbedaan keduanya tidak
hanya pada tatan leksikon, namun pada tataran ciri fonologis.
Salah satu karakteristik DMB adalah banyak
ditemukan gugus konsonan dalam pembentukan kata dasar. Kategori-kategori umum
yang untuk mengkaji kata dasar yang secara khas memiliki gugus konsonan
digolongkan menjadi tiga: (1) kata- kata pinjaman dari bahasa asing, (2)
kata-kata dasar yang berasal dari bahasa Austronesia, (3) kata- kata dasar yang
bermula dengan nasal dan konsonan.
Daftar Pustaka
Anderson, B. 1966. The Languages Of
Indonesian Politics. Indonesia 1: 89-116.
Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Castles, L. 1967. The Ethnic Profile Of Jakarta. Indonesia 1:
153-204.
Grijns, C.D. 1991. Kajian Bahasa Melayu
Betawi (Seri ILDEP). Jakarta: Grafiti
Leirissa. 1973. Dari Sunda Kelapa Ke Jakarta (dalam Abdurachman
Surjomihardjo [ed]).
Muhadjir. 2000. Bahasa Betawi Sejarah Dan Perkembangannya. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
_______. 1984. Morfologi Dialek Jakarta.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
_______, dkk. 1979. Fungsi dan Kedudukan Dialek Jakarta. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Uhlenbeck, E.M. 1978. Studies in Javanese Morphology. The Hague: Martinus
Nijhoff. (Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. Translation Series, 19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar