Selasa, 18 September 2012

DIALEK MELAYU BETAWI SEJARAH, PERKEMBANGAN, SERTA KARAKTERISTIKNYA


I.     Pendahuluan
Bahasa melayu adalah anggota terpenting dari kerabat bahasa Austronesia yang muncul dari peradaban Asia timur pada sepuluh ribu tahun yang lalu, bahasa melayu pula termasuk kerabat besar dari berbagai bahasa, seperti hubungan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa Madagaskar.
Asal mula Bahasa Melayu, menurut sebagian besar ahli terkemuka dalam bidang arkeologi Austronesia dan linguistik komparatif adalah bagian barat Kalimantan. Dan merupakan turunan bahasa Austronesia purba, dimulai kurang lebih dua juta tahun yang lalu sebagai satu  dari beberapa varian bahasa yang saling berhubungan erat dan digunakan di Kalimantan Barat. Kemudian pada penutur bahasa Melayu menyebar melalui perairan searah jarum jam di sepanjang pantai utara Kalimantan dan kemudian menuju ke selatan dan kembali menuju barat, sehingga hampir sebagian besar daerah dengan sistem perairan yang penting dari seluruh pulau  di Kalimantan memiliki permukiman dengan penutur Bahasa Melayu.
Bahasa Melayu yang telah menyebar di berbagai daerah disebut sebagai dialek-dialek Melayu yang berada di dalam dan luar negeri, salah satunya adalah dialek Melayu Betawi –selanjutnya disebut DMB-. Menurut Muhadjir (2000:x) DMB berkaitan erat dengan kelompok masyarakat Betawi yang diakui sebagai kelompok etnis “inti” penduduk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kelompok etnis itu, selain menghuni sebagian daerah pemukiman di Jakarta, juga berdiam di daerah pinggiran Jakarta, antara lain di Depok, Cisalak, Ciputat, dan Bekasi. Sebagai kelompok etnis, secara historis mereka sudah mulai terbentuk sejak awal abad ke-17, sebagai hasil “percampuran” berbagai unsur etnis yang menghuni wilayah Batavia kala itu. Mereka antara lain terdiri atas kelompok etnis Sunda, Jawa, Bali, berbagai kelompok yang sengaja didatangkan VOC, dan kaum mardijkers yang mulanya berasal dari daratan India.
Di kalangan awam bahkan juga di sebagian ahli bahasa dan kebudayaan ada yang beranggapan bahwa bahasa atau dialek Betawi itu sama dengan bahasa atau dialek Jakarta. Dialek betawi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sedangkan dialek Jakarta Muhadjir berpendapat bahwa penamaan dialek Jakarta lebih bersifat geografis, bukannya etnis seperti bahasa atau dialek Betawi. Penamaan bahasa atau dialek Jakarta baru muncul baru-baru ini di masa mutakhir, katakanlah sejak kemerdekaan. Jakarta sebagai pusat pemerintahan, dan juga sebagi pusat kebudayaan, menyebabkan banyak kelompok masyarakat yang semula menghuni wilayah tertentu dan terkenal sebagai etnis tertentu, berdatangan di Jakarta. Namun pada hakikatnya, antara istilah dialek melayu betawi dan dialek melayu jakarta adalah sama dan hanya merupakan perbedaan istilah semata.
Dalam setiap bahasa memiliki karakteristik pada sisi linguistik dalam berbagai tataran, fonologis, morfologis, sintaksis, dll. Begitu pula pada DMB yang memiliki karakteristik tersendiri seperti pada tataran leksikal, dan fonologis. Juga pada tataran morfologis yaitu pada pembentukan kata dasar dengan gugus konsonan.
II.      Rumusan Masalah
Berdasarkan keterangan di atas, dirumuskan masalah-masalah berikut:
1.      Bagaimana sejarah DMB dan perkembangannya?
2.      Karakteristik pada tataran morfologis pada dialek melayu banyak ditemukan gugus konsonan, apa saja gugus konsonan yang terdapat dalam DMB?
III.   Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.      Mendeskripsikan sejarah dan perkembangan DMB.
2.      Mengetahui karakteristik DMB pada tataran morfologi.
Adapun Manfaat penelitian ini, diharapkan dapat memberi kontribusi dalam memahami sejarah dan perkembangan, serta mengetahui karakteristik DMB pada tataran morfologis yaitu dalam pembentukan kata dasar.


IV.    Pembahasan
4.1. Sejarah Dialek Melayu Betawi
4.1.1. Penduduk
Berbeda dengan bahasa-bahasa daerah dan dialek melayu lainnya yang ada di Indonesia seperti Melayu Medan, Riau, dan Palembang,  DMB tidak didukung oleh kelompok etnis yang homogen. Percampuran penduduk yang berasal dari berbagai kelompok etnis yang beragam sudah terjadi sejak abad -17. Hal ini disebabkan oleh migrasi dari dalam maupun luar Indonesia. Bahkan hingga kini migrasi masih terus terjadi hingga terjadi percampuran dari berbagai etnis yang berbeda latar belakang sosial dan kebudayaan (Muhadjir, 1984:1).
Bermula ketika Jan Pieterszoon Coen berhasil menduduki kota Jakarta pada tahun 1619, sebagian penduduk asli Jakarta melarikan diri ke arah Banten. Kemudian dengan alasan keamanan, Coen berusaha menutup kota Jakarta dari penduduk pedalaman dan berusaha menghalangi penduduk asli yang ingin kembali ke daerah pertanian yang sebelumnya telah ditinggalkan (Leirissa, 1973: 14-31).
Sejak peristiwa itu, kota Jakarta bersih dari penduduk asli. Hingga beberapa tahun kemudian Coen membiarkan orang Cina menjadi penduduk kota, yang disusul oleh orang-orang Banda, Pedagang rempah-rempah Jepang yang bertahan hingga tahun 1636 dan merupakan unsur penting penduduk kota Jakarta. Selain yang telah disebutkan di atas, kota Jakarta juga dihuni oleh penduduk merdeka lainnya yang meliputi suku-suku Melayu, Bali Bugis, Ambon, serta bangsa “Moors”, yaitu bangsa India Selatan yang beragama Islam (Castles dalam Muhadjir, 1984:2).
Namun selain penduduk merdeka, penduduk yang terbesar saat itu hingga abad ke-19 adalah para budak yang didatangkan dari berbagai tempat. Pada awalnya budak-budak yang diangkut ke Jakarta adalah para budak yang berasal dari pantai Koromandel, dari Malabar, Benggali, dan yang berasal dari Indonesia Timur seperti Flores, Sumbawa, Sumba, timor, Nias, Kalimantan, dan pulau Luzon. Meskipun demikian, sumber tetap para budak adalah Bali dan Sulawesi Selatan. Hingga pada akhir abad ke-19 kelompok etnis yang berasal dari aneka ragam yang telah disebutkan di atas telah menjadi penduduk asli Jakarta yang kini dikenal dengan nama “Anak Betawi”, termasuk di dalamnya 5000 penduduk pinggir kota yang berasal dari Jawa dan Sunda.
Sedangkan pada umumnya, penduduk merdeka dari berbagai kelompok etnis tersebut tinggal di kampung-kampung secara terpisah-pisah. Sisa nama kampung tempat tinggal mereka masih melekat pada nama kampung, seperti kampung Jawa, kampung Bugis, kampung Ambon, dan lain sebagainya.
Dan setelah perdagangan budak dihapuskan, pulau Jawa merupakan sumber migrasi penduduk ke kota Jakarta, apalagi sejak zaman Republik Indonesia, arus urbanisasi ke ibukota makin ‘mengalir deras’, para pendatang baru itu bukan hanya jumlahnya makin banyak, tetapi juga makin beraneka asal dan memiliki status sosial yang beragam.
4.1.2. Bahasa
Menurut Castles (1967: 158) hingga abad -18, bahasa yang menjadi lingua franca adalah salah satu dialek portugis, yakni suatu dialek yang dibawa oleh para budak dari India, yang di tanah asalnya saja sudah merupakan bangsa campuran. Kemudian pemakaian dialek Portugis itu berangsur-angsur mengurang pada abad ke -19, digantikan oleh bahasa Melayu jakarta, yang merupakan salah satu enklafe bahasa melayu (dialek).
H.N Vander tuuk pernah melakukan kekeliruan dengan mengira bahwa bahasa yang dipakai di Jakarta merupakan sejenis bahasa Bali rendah, yang kemudian dibantah oleh Hans Kähler (1966 dalam Muhadjir, 1984:2) dan menunjukkan bahwa dari segi kosakatanya, DMB adalah dialek melayu dengan unsur-unsur Bali, Jawa, Sunda, Cina, Arab, Portugis, Belanda, dan Inggris.
Adapun inventarisasi fonem pada DMB adalh sebagi berikut, yakni 26 fonem-fonem segmental, yang terdiri dari 19 fonem konsonan dan 7 buah fonem vokal.

Fonem Vokal
depan
pusat
belakang

i
-
u
tinggi
e
«
o
tengah
ε
a
-
rendah

Fonem Konsonan
labial
alveolar
palatal
velar
glotal

b
d
j
g
?
bersuara hambat tak bersuara
p
t
c
k

m
n
ň
ŋ

nasal

l



lateral

r



getaran

s


h
geseran
w

y


semivokal

Menurut Muhadjir, Kay Ikranegara peneliti Amerika yang bersuamikan orang Indonesia, menyimpulkan hasil perhitungannya berdasarkan kosakata Swadesh bahwa 93% kosakata dasar DMB kini sama dengan kosakata bahasa Indonesia yang merupakan salah satu variasi bahasa Melayu pula (sama-sama salah satu dari dialek Bahasa Melayu). Sedangkan sisanya yang hanya sebesar 7% berasal dari bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Cina.
Perbedaan mendasar dari tataran fonem antara DMB dan Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut, (1) ciri pelafalan atau tata ucapnya. Yaitu banyak ditemukan vokal é pada kosakata DMB, contohnya seperti pada kata: apé, adé, ayé, dll. Sedangkan pada bahasa Indonesia vokal /é/ menjadi /a/ → apa, ada, saya.  (2) banyaknya suku akhir yang berakhiran « (pepet) dengan konsonan seperti: dat«ŋ, b«k«l, bar«ŋ, dan sebagainya. Dan pada bahasa Indonesia → datang, bekal.
Sedangkan pada tataran kata, perbedaan antara keduanya adalah (1)penggantian awalan me- bahasa Indonesia dengan hanya nasal saja seperti ngambil “mengambil”, ngambek “marah”, ngusir “mengusir”, dan sebagainya. (2)adanya suffiks –in dalam verba DMB seperti pada kata: ndatengin “mendatangi”, ngumpetin “menyembunyikan”, nguntitin “mengikuti”, dll.
Pada tataran kosakata, perbedaannya antara lain adanya kata ganti orang gue dan lu, juga terdapat banyaknya kata sambung seperti dong, deh, kok, si, kek, dll. Dan ciri lainnya adalah dalam bahasa sehari-hari, biasanya orang Betawi menghitung dengan memakai hitungan bahasa Cina: cepek, gopek, dll.
Pada umumnya perbedaan antara DMB dengan bahasa Indonesia bersifat sistematis, sehingga kaidah-kaidah perbedaan antara keduanya bisa diketahui dengan mudah dan disusun secara sistematis.  
4.1.3. Variasi Dialek Areal
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa luas pemakaian DMB melebihi daerah administratif daerah Jakarta. Meskipun hubungan kebahasaan antar penduduk berlangsung lancar, namun sesungguhnya dialek itu terbagi-bagi kedalam subdialek geografis tertentu.
Secara garis besar, DMB terbagi menjadi dua subdialek, (1) subdialek Dalam Kota, dan (2) subdialek Pinggiran. Subdialek pinggiran adalah yang digunakan di pinggiran kota Jakarta, dan sering disebut juga dengan nama Betawi ora atau Melayu ora, penyebab timbulnya sebutan itu adalah karena di daerah pakai subdialek ini yakni pinggiran kota, kata ora “tidak” yang merupakan leksikon dalam bahasa Jawa sering dipakai berdampingan dengan leksikon yang maknanya sama → kaga “tidak”. Sebutan itu pula mencerminkan bahwa dalam subdialek ini banyak menyerap kosakata yang berasal dari bahasa Jawa. Dan tidak dipakai dalam subdialek Dalam Kota.
Perbedaan di antara keduanya tidak cukup pada tataran leksikon, namun juga pada ciri fonologis. Dalam subdialek Dalam Kota sebagian besar vokal akhir yang dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan /a/ menjadi /ε/ pada subdialek
Bahasa Indonesia
Subdialek Dalam Kota
Subdialek Pinggiran
Saya
ayε
sayah, saya?
Apa
apε
apah,  apa?
mangga
maŋgε
manggah, mangga?
Perbedaan lainnya adalah pada subdialek Pinggiran sering muncul konsonan b, d, dan g pada posisi akhir, sedangkan pada subdialek Dalam Kota tidak ditemukan ketiga konsonan tersebut pada konsonan akhir.
Secara historis, pada awalnya, subdialek Dalam kota terbagi sekurang-kurangnya menjadi dua subdialek: (1) subdialek yang menggunakan vokal akhir /ε/ (pada bahasa Indonesia bervokal akhir /a/), subdialek ini menyebar di seluruh daerah dalam kota. (2) subdialek yang menggunakan vokal /«/ pada posisi yang sama. Jadi (s)ayε, apε, dan maŋgε diucapkan say«, ap«, dan maŋg«, subdialek ini dituturkan di sekitar wilayah Tanah Abang.
Namun kini batas antar subdialek ini makin samar dan tidak jelas, akibat urbanisasi yang terus-menerus, bercampurnya pendatang baru dengan penduduk asli atau penduduk yang telah lama tinggal di jakarta, pemakaian Bahasa Indonesia yang makin meluas, dan penggusuran dampak dari pembangunan besar-besaran sehingga penduduk asli banyak yang tergusur.
4.1.4. Perkembangan Dialek Melayu Betawi
Pada masa lampau, kedudukan DMB hanya dituturkan sebagai bahasa pergaulan di pasar, antar tetangga, dan di tempat kerja, dan dalam kesenian tradisional saja, tidak seperti sekarang yang menempati posisi penting karena kini DMB juga telah digunakan dibeberapa media massa. Pada surat kabar dalam rubrik tertentu bahkan beberapa acara televisipun kini menggunakan DMB, seperti penggalan-penggalan DMB yang digunakan dalam sinetron-sinetron yang dapat dinikmati berbagai kalangan, acara lenong yang hingga kini masih di jumpai di televisi, maupun beberapa acara tertentu. Sehingga DMB tidak hanya terkenal di daerah pakainya saja, namun meluas di seluruh Indonesia terutama daerah-daerah yang sudah menggunakan media Televisi sebagai media informasi. Misalnya saja kata gue yang berasal dari DMB, kini tidak hanya digunakan di daerah pakainya saja, namun kita dapat menemui kata tersebut juga dituturkan di berbagai daerah, karena kata gue sudah di anggap sebagai kosakata ‘gaul’. DMB yang dipakai di luar jakarta  menurut Stephen Wallace disebut sebagai dialek Jakarta Modern.
Dengan demikian, dengan kata lain dibandingkan masa lampau, kini DMB telah mengalami kemajuan yang amat pesat. penyebab yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa kini kota Jakarta menjadi ibukota yang dijadikan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan. Seiringan dengan fenomena tersebut, prestise DMB pun makin menanjak. banyak para pendatang dari berbagai daerah yang pernah tinggal di Jakarta, sekembalinya ke daerah mereka masing-masing, dengan bangga menggunakan DMB atau unsur-unsur khasnya pula banyak digunakan oleh kalangan muda dengan tujuan untuk memperlihatkan identitas mereka sebagai anak ibukota ‘anak jakarta’.
            Peran DMB berdasarkan perbandingan dengan Bahasa Jawa menurut Ben Anderson (1966: 197) DMB merupakan ngoko-nya Bahasa Indonesia. Dan ia juga berpendapat dalam tulisannya tentang bahasa-bahasa politik di Indonesia, bahwa DMB adalah bahasa rakyat kecil yang menjadi bahasa golongan elit Jakarta. Bahasa yang kasar, lucu, dan intim itu lambat laun menjadi sangat populer di kalangan yang lebih luas, kemudian dengan sedikit diperhalus, dialek itu menjadi bahasa pergaulan antar semua golongan masyarakat. Sedangkan Muhadjir menyatakan bahwa DMB akan menjadi bahasa lisan non-formalnya Bahasa Indonesia, pernyataan tersebut didasari oleh eratnya hubungan antara DMB dengan Bahasa Indonesia.
4.2. Karakteristik DMB Pada Tataran Fonologis
Setiap bahasa atau dialek memiliki karakteristik tersendiri, termasuk pada DMB yang memiliki karakteristik pada tataran fonologis terutama dalam pembentukan kata dasar. Yaitu pembentukan kata dasar dengan gugus konsonan. Dalam hal penggolongan kata-kata dasar, kategori-kategori umum yang untuk mengkaji kata dasar yang secara khas memiliki gugus konsonan adalah: (1) kata- kata pinjaman dari bahasa asing, (2) kata-kata dasar yang berasal dari bahasa Austronesia, (3) kata- kata dasar yang bermula dengan nasal dan konsonan.
1.      Kata Pinjaman dari Bahasa Asing
Kata-kata yang berasal dari Bahasa Asing merupakan kata-kata pinjaman bersuku tunggal, dan kata-kata pinjaman bersuku dua atau lebih. Kata pinjaman yang bersuku tunggal seperti pada kata bros; brén “senapan mesin ringan”  (Belanda: broche), kata blék “kaleng” (Belanda: blik) dan blok “rintangan jalan” (Belanda: blok), klép (Belanda: klep); klop “cocok”, strom “arus listrik”, banyak dari jenis ini yang mempunyai sebuah varian dengan «, seperti k«lép dan s«trom. Sedangkan kata-kata pinjaman dengan dua suku kata atau lebih seperti pada kata: blangko “surat isian” (Belanda: blangco), trigu (Portugal: trigo), trawé “shalat sunnah petang hari selama bulan puasa” (Arab: tara>wih}).
Pada kata-kata pinjaman dari bahasa asing, ditemukan banyak sekali gugus konsonan, yaitu: br, bl, pr, pl, dr,tr, tw, gr, kr, kl, sp, spr, st, str, dan sl. Kata-kata pinjaman biasanya berpotensi untuk membentuk gugus konsonan, namun pola yang sesuai dan paling umum adalah menambahkan pepet sebagi vokal penuh yang menyebabkan kata bersuku dua.
2.      Kata Dasar yang Berasal dari Bahasa Austronesia
Gugus konsonan pada kata dasar bersuku tunggal yang berasal dari bahasa Austronesia adalah br, bl, pr, pl, tr, dan kr. Kesukutunggalan pada kategori ini merupakan sifat khusus. Terdiri dari hal-hal yang bentuknya ditentukan oleh simbolisme suara. Uhlenbeck (1978:36) menyimpulkan bahwa bentuknya mencakup ekspresi-emosi, fonostetik, dan onomatopik; dengan satu pengecualian pada nama suatu jenis burung tertentu; dan semua kata dasar yang lain dipakai sebagai interjeksi.
Kata dasar yang berasal dari bahasa Austronesia pula tidak memiliki varian yang mengandung «, bahkan beberapa dari bentuknya beroposisi dengan bentuk-bentuk yang mengandung «. Misalnya: brek “bunyi rumah ambruk”, beroposisi dengan b«r«k “kikir”; bluk-bluk “suara benda besar jatuh ke atas tanah”, beroposisi dengan b«luk dalam s«luk b«luk “rumit”; blur “suara orang tercebur ke air”, beroposisi dengan b«lur dalam babak b«lur “luka-luka”; dls.
Sekitar 70 kata dasar bersuku kata dua atau lebih yang berasal dari bahasa Austronesia diawali dengan gugus konsonan (tidak termasuk nasal-nasal awal), seperti: bréok “bunyi air dituang”, protok-protok “bunyi batang bambu terbakar”, dan prétél “lepas, petik”.
Juga terdapat gugus konsonan dr, gr, gl, dan sr. Namun jenis yang paling lazim adalah gr dan kr, diikuti oleh pr, br, bl, tr, dan kl. Dengan demikian semua gugus konsonan mengandung l atau r sebagai anggota kedua didalam gugus konsonan itu. Hal yang sama berlaku untuk kategori kata bersuku tunggal. Hanya saja pada golongan unsur-unsur pinjaman dari bahasa asing, disamping mempunyai bentuk-bentuk sp, spr, str, st dan tw. Terkadang muncul Gugus konsonan tl, cr, cl,sk (pada skin atau s«kin “semacam pisau”), dan wr; dan selalu muncul sebagai varian dari bentuk-bentuk yang mengandung epentesis atau /«/, misalnya: k(«)léwér, dll.
3.      Kata Dasar yang Bermula dengan Nasal + Konsonan
Beberapa kata dasar yang bermula dengan nasal + konsonan sulit digolongkan kedalam suatu golongan atau golongan lainnya, seperti: mpo’ “kakak perempuan”; nto, ntu “itu”; ngkong “kakek”; dll. Sebuah nasal awal yang mendahului konsonan homorganis, dapat berupa suku kata atau bukan suku kata, ditentukan oleh rangkaian yang membentuk suatu gugus konsonan. Misalnya pada kata ngga yang banyak digunakan, dapat dilafalkan dengan salah satu dari dua cara, dengan ng + g sebagai suku kata atau dengan gugus konsonan ngg. Lafal pertama terdengan dalam cara berbicara perlahan dan tegas, bahkan nasal dapat diperpanjang (ng:ga’) atau suara menyerupai vokal dapat disisipkan di depan nasal itu, seperti dalam kasus epentesis di antara konsonan pertama dan kedua. Suara ini seringkali diidentifikasi sebagai fonem /«/, sehingga kata itu lalu dianggap sepenuhnya bersuku dua: «ngga’, meskipun masing-masing kata dasar memiliki frekuensi yang tidak sama, namun umumnya bentuk dengan « mendominasi pada jenis kata ini. Banyak juga ditemukan varian tanpa nasal: ga’ disamping ngga’; cing dan kong disamping ncing dan ngkong; dll. Dengan demikian golongan kata dasar yang diawali dengan nasal ini dibedakan menjadi dua kategori:
(a)  Nasal, dengan atau tanpa didahului oleh « merupakan kata dasar bersuku tunggal, misalnya («)ngga’, («)ncing (varian incing), («)ncang (varian incang).
(b)  Reduksi terhadap bentuknya yang lebih lengkap ngkali (bandingkan dengan barangkali), nti (bandingkan dengan nanti), mpan (bandingkan dengan di«mpanin “diberi makan”). Di sini nasal umumnya sebagai suku kata dan jarang dihilangkan.
Kähler (dalam Grijns) mengemukakan adanya tiga jenis gugus konsonan yang sebagai suku kata yang mengandung m atau n dan diikuti dengan konsonan bersuara: m + b-, n + n-, ny-.
V.      Kesimpulan dan Penutup
Menurut Muhajir, DMB berkaitan erat dengan kelompok masyarakat Betawi yang diakui sebagai kelompok etnis “inti” penduduk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kelompok etnis itu, selain menghuni sebagian daerah pemukiman di Jakarta, juga berdiam di daerah pinggiran Jakarta, antara lain di Depok, Cisalak, Ciputat, dan Bekasi.
Tidak seperti daerah enklafe dialek Melayu lain, DMB tidak didukung oleh kelompok etnis yang homogen. Percampuran penduduk yang berasal dari berbagai kelompok etnis yang beragam sudah terjadi sejak abad -17. Hal ini disebabkan oleh migrasi dari dalam maupun luar Indonesia. Bahkan hingga kini migrasi masih terus terjadi hingga terjadi percampuran dari berbagai etnis yang berbeda latar belakang sosial dan kebudayaan.
DMB terbagi menjadi dua subdialek, (1) subdialek Dalam Kota, dan (2) subdialek Pinggiran. Perbedaan keduanya tidak hanya pada tatan leksikon, namun pada tataran ciri fonologis.
Salah satu karakteristik DMB adalah banyak ditemukan gugus konsonan dalam pembentukan kata dasar. Kategori-kategori umum yang untuk mengkaji kata dasar yang secara khas memiliki gugus konsonan digolongkan menjadi tiga: (1) kata- kata pinjaman dari bahasa asing, (2) kata-kata dasar yang berasal dari bahasa Austronesia, (3) kata- kata dasar yang bermula dengan nasal dan konsonan.

Daftar Pustaka
Anderson, B. 1966. The Languages Of Indonesian Politics. Indonesia 1: 89-116.
Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Castles, L. 1967. The Ethnic Profile Of Jakarta. Indonesia 1: 153-204.
Grijns, C.D. 1991. Kajian Bahasa Melayu Betawi (Seri ILDEP). Jakarta: Grafiti
Leirissa. 1973. Dari Sunda Kelapa Ke Jakarta (dalam Abdurachman Surjomihardjo [ed]).
Muhadjir. 2000. Bahasa Betawi Sejarah Dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
_______. 1984. Morfologi Dialek Jakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan.
_______, dkk. 1979. Fungsi dan Kedudukan Dialek Jakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Uhlenbeck, E.M. 1978. Studies in Javanese Morphology. The Hague: Martinus Nijhoff. (Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. Translation Series, 19)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar