Selasa, 28 Februari 2012

IKHLAS

Kehidupan itu bak roda, selalu berputar dan tidak statis. Dengan demikian, kondisi setiap orang juga selalu dinamis, tidak selalu bahagia dan tidak selalu sedih. yang jelas, tidak selalu berada pada kondisi yang sama.
Dalam menyikapi kondisi yang berbeda-beda itulah dibutuhkan kekuatan mental. Pada umumnya, dalam menghadapi kondisi yang membahagiakan seseorang tidak terlalu membutuhkan kesiapan. Bagaimana jika sebaliknya? Menyikapi kondisi yang kurang bersahabat membutuhkan kekuatan hati dan kesiapan mental.  Karena jika tidak, bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tanpa disadari, seseorang dlm hidupnya membutuhkan masalah. Mengapa demikian? Karena masalah membuat seseorang berpikir dan berusaha untuk menyelesaikannya. Bahkan sebagian besar menjadi dewasa (dlm ranah cara berpikir) dan berpengalaman hingga mencapai ksuksesan disebabkan berbagai masalah yang datang padanya. Namun banyak pula yang salah kaprah, karena masalah yang dialami membuat seseorang ‘down’ hingga mengambil jalan pintas alias bunuh diri.
Dalam menghadapi permasalahan hidup disamping kesiapan mental dibutuhkan keikhlasan, rasanya kata “ikhlas” sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun, apakah kita sudah benar-benar memahami tentang ikhlas dan mengamalkannya?
 Di dalam KBBI kata ikhlas secara etimologi bermakna bersih hati; tulus hati. Sementara kata
meng·ikh·las·kan (kata kerja) bermakna “memberikan atau menyerahkan dengan tulus hati;  merelakan,” dan kata ke·ikh·las·an (kata benda) bermakna “ketulusan hati; kejujuran; kerelaan.”
Bagaimana dengan kata ikhlas secara terminologi? Ikhlas adalah menyingkirkan sehingga ingin benar-benar suci, atau menyingkirkan segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan sehingga yang tersisa itu gambaran tentang Tuhan, menyingkirkan segala sesuatu yang bukan sifat-Nya (Quraish Shihab- Tafsir Al-Misbah surat Al-Ikhlas). Seseorang bisa disebut ikhlas jika apa yang diperbuatnya itu hanya mengharap keridhoan Allah, tidak memiliki ambisi atau tendensi apapun, apalagi mengharap imbalan dari selain Allah. Namun, jika keikhlasan itu selalu diucapkan, misalnya: “saya ikhlas”, maka sesungguhnya, keikhlasannya itu masih perlu dipertanyakan, karena keikhlasan itu ‘bersemayam’ dalam hati, bukan dalam pikiran atau lisan.
Keikhlasan berperan penting dalam menghadapi permasalahan hidup atau ujian. Ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan hidup, kesulitan, dan kesedihan. Atau seakan masalah datang dengan bertubi-tubi hingga menggoyahkan ‘irama’ kehidupan, hal mendasar yang dibutuhkan dalam menghadapinya adalah rasa khusnudzan terhadap Allah, karena Allah berdasarkan pada prasangka hamba-Nya, sebagaimana di dalam hadits qudsi “Ana ‘inda dzanni ‘abdi bi” (Aku menurut prasangka hambaKu), dari situ dapat diketahui  dengan jelas bahwa Allah memerintahkan pada hamba-Nya untuk selalu berprasangka baik dan jangan berputus asa dari rahmat Allah (“Maka janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah” Q.S. 12:87). Di dalam pepatah Arab juga tercantum “man ‘arafa Allah azala at-tuhmah – fa qala kullu fi’lihi bil-hikmah” (siapa yang mengenal Allah maka ia akan menghilangkan rasa suudzan – lantas berkata bahwa setiap perbuatan-Nya mengandung hikmah). Maksudnya, ketika seseorang telah mengenal Allah dengan segenap keagungan-Nya, secara otomatis ia tidak akan berprasangka buruk terhadap-Nya. Dengan demikian, meskipun Allah memberikan ujian, dalam mindsetnya sudah tersistem bahwa apa yang ia hadapi sudah menjadi ketentuan Allah yang pasti terdapat hikmah. Hikmah dari permasalahan memang bersifat tidak instant (langsung diketahui) namun membutuhkan rentang waktu tertentu dari kejadian, bisa saja esok, lusa, bulan depan, tahun depan atau di tahun-tahun berikutnya.
Selain itu, ketika telah mampu berprasangka baik terhadap Allah, dibutuhkan kesabaran. Sebagaimana dalam Al-Baqarah:153 “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Kesabaran penting  untuk menggapai keikhlasan, karena jika seseorang telah mampu bersabar, maka ia akan menghadapi permasalahan apapun dengan ikhlas.
Menerima segala ketentuan Allah dengan sabar dan ikhlas adalah hal yang sudah menjadi keharusan, dengan sabar dan ikhlas seseorang yang sedang dilanda masalah akan tetap berpikir jernih hingga berakibat positif dengan mendapat jalan keluar dari masalah, dan dapat mengambil hikmah dari permasalahannya itu “inna ma’al ‘usri yusra” (sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan).
Allah tidak mungkin memberikan ujian yang tidak mampu diemban oleh hamba-Nya.  Coba kita renungkan kembali, sabar atau tidak sabar, ikhlas atau tidak ikhlas, permasalahan, kesedihan, kesulitan, atau ujian-ujian kehidupan masih akan tetap menimpa kita bukan? Pada dasarnya, jika kita berhasil melalui semuanya dengan sabar dan ikhlas maka segala kesulitan, kesedihan, dan semua permasalahan akan terasa ringan. Dengan bersabar dan ikhlas, artinya kita mengembalikan segala persoalan hanya kepada Allah. Allah tempat bersandar dan meminta. Dalam sya’ir berkata:
la tas’alanna bunayya Adama hajatan – wasali al-ladzi abwabuhu la tuhjab
(janganlah kamu meminta sesuatu kepada bani Adam – mintalah kepada yang pintunya tidak pernah tertutup [Allah])
Fa Allahu yaghdabu in tarakta su’alahu – wa bunayyu Adama hina yus’alu yaghdabu
(Allah akan marah jika kamu tidak mau memohon pada-Nya – sedangkan bani Adam akan marah ketika dimintai sesuatu)

Dari syair di atas bisa dipahami perbedaan antara Allah sebagai khaliq (pencipta) dan manusia sebagai makhluq (yang diciptakan). Allah sangat dekat dengan kita dan memerintahkan kita untuk meminta dan memohon pada-Nya, karena pada hakikatnya, Allah maha mengetahui apa yang terbaik untuk hidup kita. Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah: 219 “wa ‘asa an takrahu syaian wa huwa khairun lakum wa ‘asa an tuhibbu syaian wa huwa syarrun lakum wa Allahu ya’lamu wa antum la ta’lamun” (boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah maha mengetahui sedang kamu tidak mengetahui).
Dalam konteks ikhlas dalam beramal, Seseorang dapat dikatakan ikhlas jika tidak mengharap pujian dari sesama, tidak terdetik dalam benaknya untuk riya’ (agar dilihat orang lain) atau sum’ah (agar didengar), bahkan tidak mengharap apapun. Apa yang diberi atau dilakukannya tidak perlu dilihat serta dinilai baik oleh orang lain. setelah melakukannya, ia akan segera melupakannya, dan tidak merasa bahwa ia telah berbuat baik.
Bagaimana dengan ikhlas dalam memaafkan sesama? Memaafkan adalah hal yang “gampang-gampang sulit”. Seyogyanya orang dewasa belajar dari anak kecil yang setelah bertengkar dengan anak seusianya, beberapa menit kemudian bermain bersama kembali seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Sepertinya, semakin usia bertambah, gejala universal yang terjadi adalah sulit melupakan kesalahan orang lain. Rupanya, hal ini juga menimbulkan masalah baru. Apakah seseorang bisa disebut memaafkan orang yang berbuat salah padanya tanpa melupakan kesalahan orang tersebut? Dibutuhkan hati yang luas untuk memaafkan kesalahan orang lain, jika Allah saja maha pemaaf kenapa sebagai manusia yang tidak ada apa-apanya tidak bersedia memaafkan?
Keikhlasan merupakan hal yang bersifat fundamental. Agar selamat dunia dan akhirat, keikhlasan harus menaungi hati kita masing-masing di dalam melakukan apapun, dimanapun, dan kapanpun.
Selamat berproses dalam menggapai ikhlas!

 [NZ / 07.10.11/ 23.35]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar