Selasa, 28 Februari 2012

Menggali Makna Terpendam dari Masa Lalu

Tiba-tiba ingatan ini tertuju pada suatu pelajaran favorit saat masih di pondok dulu, mahfudzat. Terekam jelas akan cara ustadz/ustadzah menyampaikan mata pelajaran ini, cukup sederhana. Diawali dengan ustadzah menulis baris demi baris kalimat bermakna di atas papan tulis, lalu dibaca bersama-sama, dijelaskan maksud dari kalimat bermakna tersebut, lalu pada pertemuan berikutnya setiap santri diwajibkan untuk mengahafalkan kalimat demi kalimat yang dipelajari di depan kelas. Begitulah pula pada pertemuan-pertemuan seterusnya.
Yakin ‘seyakin-yakinnya’, meskipun waktu terus berlari meninggalkan masa lalu, masih segar dalam ingatan sahabat sekalian akan kalimat sederhana namun mengandung makna yang amat mendalam /man jadda wajada/, /man shabara zhafira/, /baydhatul yaumi khairun min dajajatil ghadi/, /la tahtaqir man dunaka falikulli syaiin maziyyah/, dan masih banyak lagi. Jika kita menyempatkan diri sebentar saja me-review mahfudzat yang pernah kita pelajari dulu, setidaknya mengingat-ingat atau membuka catatan yang mungkin kini telah lusuh karena lama tersimpan di dalam rak buku, apalagi jika mampu mengamalkan apa yang ada di dalamnya, niscaya akan membawa hal yang amat positif di dalam hidup kita.
Salah satu contohnya, jika kita mau merenungkan dan mengamalkan mahfudzat yang pertama kali kita pelajari (dan pasti paling diingat)
man jadda wajada
barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka mendapatlah ia’
Kesungguh-sungguhan merupakan faktor penyebab yang amat sangat mendasar dalam meraih kesuksesan hidup, apapun itu. Apapun yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan berdampak sesuatu yang ‘sungguhan’ pula. Contoh mudahnya, ketika kita melakukan dua aktivitas yang berlainan, salah satunya dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan lainnya dilakukan dengan setengah-setengah, maka apakah efeknya akan sama?

Pada hakikatnya, mahfudzat-mahfudzat pendek yang pernah kita pelajari pada waktu kelas satu merupakan ‘pegangan hidup’ yang jika kita mau mengaji dan mengkaji kembali satu persatu, masing-masingnya memiliki makna yang amat dahsyat. Karena tidak saja mencakup motivasi hidup, tetapi juga anjuran bersikap santun kepada siapa saja, terutama pada orang yang ‘di bawah kita’ -pembantu rumah tangga, pengemis, dll- sebagaimana pada mahfudzat /la tahtaqir man dunaka falikulli syaiin maziyyah/ dan hendaknya menolong orang yang serba kekurangan (miskin) bukannya menghina dan bersikap semena-mena /la tahtaqir miskinan wa kun lahu mu’inan/.

Saat kita belajar dulu, mungkin kita tidak pernah merenungi secara mendalam apa yg kita pelajari, bahkan kita hafalkan. Seiring dengan bertambahnya usia, proses belajar, serta pengalaman hidup, kesemuanya menunjang pemahaman mahfudzat yang dulu hanya dihafalkan lafadz dengan makna yang bisa dipahami seadanya saja, itupun hanya makna tekstual.

Jadi, mari sejenak saja flashback ke zaman yang kini kita rindukan, untuk menghayati dan mengungkap harta karun yang berupa makna demi makna, yang jika dipahami dan diamalkan akan berdampak luar biasa, tidak hanya pada hidup kita pribadi, namun juga pada keluarga dan orang-orang disekitar kita.

<NZ /111111>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar