PERGESERAN
SISTEM NILAI BUDAYA PADA
RITUAL PADUSAN
Oleh Nita Zakiyah, M.A
Oleh Nita Zakiyah, M.A
1.
Pendahuluan
Pulau jawa merupakan salah satu pulau dari kepulauan Indonesia,
suatu pulau yang terbentang antara 60 Lintang Utara, 110
Lintang Selatan dan 950 – 1410 Bujur Timur. Pulau jawa
sendiri terletak di antara 50 – 100 Lintang Selatan dan
1050 – 100 Bujur Timur. Menurut Herusatoto (2001:37)
secara Antropologi budaya, suku Jawa adalah orang-orang yang secara
turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialek, dan
berdomisili di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur. Sedangkan di wilayah bagian
barat sungai Cilosari dan Citanduy disebut daerah Jawa Barat, di diami oleh
suku Sunda.
Masyarakat jawa merupakan masyarakat yang terbuka, hal ini merupakan
salah satu cerminan dari sikap-sikap dasar masyarakat jawa yang menjadi
nilai-nilai luhur budaya Jawa, kemudian mempengaruhi pula pada pandangan hidup
masyarakat Jawa dalam beragama, sehingga pada saat agama-agama dari luar masuk,
masyarakat jawa terbuka untuk menerimanya. Namun penerimaan itu tidak sepenuhnya
dapat diaplikasikan secara murni. Hal inilah yang yang menjadikan agama abangan
sebagai bentuk sinkritisme dari agama-agama sebelumnya dengan agama yang di
anutnya sekarang. Dalam menjalankan kehidupannya golongan abangan tersebut
masih menjalankan ritual-ritual kejawen yang dipadu dengan syariat agama yang
dianutnya (Hadiatmaja dan Endah, 2008:66). Ritual-ritual tersebut penuh dengan
makna simbolis, misalnya saja pada selamatan untuk orang meninggal golongan
islam abangan, dengan cara membacakan tahlil selama tujuh hari dan dihari
ketujuh dibuatkan selamatan berupa selamatan berupa seperangkat sesaji kenduri
yang kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar, dan selamatan-selamatan yang
lain termasuk juga dengan ritual padusan yang dapat kita lihat pada masyarakat
jawa.
Masyarakat jawa mempunyai kepercayaan asal di dalam kehidupan masyarakatnya, yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme. Lantas, datangnya hindu, budha dan islam mendorong
terciptanya kebudayaan Jawa yang beranasir lebih kompleks. Masuknya ketiga
agama tersebut kedalam masyarakat Jawa tidak serta merta menghilangkan citarasa
dan bentuk pengagungan yang sebelumnya digunakan dalam kepercayaan-kepercayaan
dalam masyarakat jawa (http://kabartersiar.wordpress.com), dengan
demikian, terbentuklah akulturasi antara budaya Jawa yang berkaitan dengan kepercayaan
yang di anut serta agama-agama yang datang kemudian di tanah Jawa.
Ritual Padusan merupakan budaya akulturasi Jawa dan Islam yang bertujuan
menyucikan diri memasuki bulan Ramadhan keesokan harinya. Padusan berasal dari
kata adus dalam bahasa Jawa artinya “mandi” (http://metrotvnews.com).
Mengenai sejarah awal dilakukan padusan belum diketahui secara pasti, namun logikanya
adalah bahwa bulan ramadhan dianggap sebagai bulan suci yang penuh rahmat bagi
umat islam diseluruh dunia. Lantas, umat islam diseluruh dunia tersebut mempunyai
cara tersendiri untuk menyambutnya, begitu pula umat islam di tanah air, masing-masing
suku yang beragama islam di setiap daerah, mempunyai tradisi untuk menyambutnya,
termasuk pada masyarakat jawa yang menyambut ramadhan dengan membersihkan diri (mandi)
sebelum menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.
Tradisi serupa juga dapat ditemukan pula pada masyarakat yang berasal dari ranah
Minang, yang dikenal dengan balimau (http://hums07.multiply.com), dan pada masyarakat Sunda dikenal dengan munggahan (http://ridu.web.id).
2.
Rumusan Masalah
Telah disinggung di atas bahwa tradisi padusan bertujuan untuk
membersihkan diri dalam menyambut bulan ramadhan dimana akan dilaksanakan
ibadah puasa selama sebulan penuh. Lalu ditengah zaman globalisasi dimana
terjadi pergeseran nilai budaya di berbagai lini dalam kehidupan masyarakat
pada umumnya dan jawa khususnya, apakah ritual padusan
masih tetap memiliki ‘tata nilai yang utuh’ bagi masyarakat
jawa? Atau nilai-nilai yang terkandung pada tradisi padusan ini
sudah mengalami pergeseran nilai sebagaimana yang terjadi di
dalam tradisi ritual yang lainnya?
Berbicara tentang nilai, Koentjaraningrat (1983:192) seorang
Antropolog tanah air berpendapat bahwa di dalam adat istiadat mengandung sistem
nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi.
..system nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi
sekaligus abstrak dari adat istiadat, hal itu disebabkan karena nilai-nilai
budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap
bernilai, berharga, penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu
pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat
tadi.
Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks
maupun yang sederhana, terdapat sejumlah nilai budaya, satu dengan yang lain
saling berkaitan hingga membentuk suatu sistem. Sistem tersebut dijadikan
sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan, dan memberi
pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakat.
Kemudian
kebudayaan mengatur perilaku masyarakat, perilaku yang bersumber dari cara
berfikir dan cara ‘merasa’ kebudayaan itu. Namun keduanya tidak pernah tetap,
sebagaimana yang dialami oleh kehidupan pribadi kita masing-masing. Perubahan
keduanya mengarahkan pada pada perubahan perilaku, saling mempengaruhi yang
pada akhirnya ‘membawa’ pada perubahan kebudayaan (Gazalba, 1963:121). Namun
pembahasan ini tidak jauh sampai perubahan kebudayaan, hanya menyoroti
pergeseran nilai yang berkaitan dengan pandangan hidup masyarakat jawa itu
sendiri.
Kembali
pada nilai yang terkandung pada tradisi padusan, pada kajian ini hal ini akan
di bahas secara singkat namun mendalam.
3. Tinjauan Pustaka
Pada essay ini digunakan sistem penelitian
pustaka dan sistem penelitian yang bersumber dari internet.
Teori-teori yang berkenaan tentang kebudayaan
secara umum, serta sistem nilai budaya penulis kutip dari tulisan Koentjaraningrat
“Pengantar Ilmu Antropologi” yang didalamnya menmbahas kebudayaan secara rinci.
Serta budaya jawa khususnya yang penulis ambil
dari beberapa sumber pustaka, yaitu buku yang berjudul Pranata Sosial Dalam
Masyarakat Jawa, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, dan beberapa sumber pustaka
lainnya yang tidak penulis cantumkan pada daftar pustaka.
Kemudian sumber tentang ritual padusan penulis
kutip dari beberapa website, karena sejujurnya, pada tema ritual padusan,
penulis tidak menemukan sumber-sumber pustaka (yang sudah berbentuk buku atau
artikel dalam majalah atau sejenisnya), hanya berupa artikel-artikel yang
terdapat di internet. Namun penulis mencantumkan alamat website secara lengkap
disertai dengan keterangan kapan artikel itu di kirim
oleh penulisnya, dan kapan artikel itu di akses. Hal ini bertujuan agar pembaca dapat
melacak sumber-sumber yang penulis gunakan dalam kajian ini.
4. Pendekatan Teoritik
Sebagaimana yang telah disinggung diatas, penulisan
essay ini menggunakan sistem penelitian pustaka (library research) dan
sistem penelitian yang bersumber dari internet. Dimana data-data yang berkaitan
dengan budaya Jawa, akulturasi budaya Jawa – Islam dan tentu saja yang
berkenaan dengan tema ritual padusan dikumpulkan, dianalisis kemudian
disimpulkan.
Data-data yang dikumpulkan dianalisis dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut: Pertama, pendekatan
deskriptif. Pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan budaya Jawa pada
umumnya yang mengerucut pada deskripsi akulturasi budaya Jawa – Islam khususnya
- yang kemudian digunakan sebagai unsur-unsur pembentuk terjadinya ritual
Padusan pada masyarakat Jawa (yang beragama islam). Kedua, pendekatan
kritis. Pendekatan ini digunakan untuk mengkritisi pergeseran yang terjadi pada
sistem nilai budaya yang terkandung dalam adat-istiadat Jawa tentunya yang
secara khusus terjadi pada ritual padusan.
5. Deskripsi Faktual
Pada prakteknya, ritual padusan dilakukan oleh
masyarakat jawa diberbagai tempat, ada yang melakukan mandi di pantai
parangtritis dan pantai-pantai yang ‘bertetangga’ dengan parangtritis (seperti
dari pantai Parang Endok hingga pantai Depok). Yaitu terdiri dari ribuan warga Yogyakarta
dan sekitarnya, seperti Magelang, Purworejo, Surakarta, dll. sehingga, karena begitu banyak orang yang
melakukan ritual padusan di pantai, pemerintah mengerahkan para polisi untuk
mengatur kendaraan yang begitu padat, dan juga tim SAR bahkan relawan yang
biasanya penduduk setempat untuk
berjaga-jaga di sepanjang pantai, langkah antisipasi jika terjadi
hal-hal yang tidak di inginkan (http://nasional.vivanews.com).
Sebagian lainnya ada yang melakukan padusan di
kolam renang, seperti yang terjadi di kolam renang Tirta Tamansari, Dusun Niten, Desa Trirenggo. Bahkan
suasana ritual padusan akan berlanjut hingga malam hari karena sebagian besar
masyarakat Bantul dan sekitarnya mulai dari anak-anak hingga orang dewasa
mengikuti tradisi padusan. Sejak pagi hingga pukul 14.00 WIB, jumlah pengunjung
jumlahnya mencapai ribuan orang (http://www.mediaindonesia.com).
Mata air pun di manfaatkan sebagian warga
untuk melakukan ritual ini, sebagaimana yang terjadi di sumber mata air Sendang
Kasihan, Kelurahan Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Sendang Kasihan memiliki keistimewaan karena
airnya tidak pernah kering. Mata air yang muncul dari dalam tanah pun bening.
Menurut sumber setempat, timbulnya sumber air yang kemudian menjadi Sendang
Kasihan ini konon oleh karena tuah tongkat milik Sunan Kalijaga. Diceritakan
bahwa dalam pengembaraannya waktu itu Sunan Kalijaga tiba di daerah Kasihan. Di
daerah ini ia membutuhkan air yang bersih. Oleh karena ia tidak mendapatkan
sumber air yang dimaksud, ia pun menancapkan tongkatnya ke atas tanah. Setelah
tongkat itu dicabut, maka keluarlah sumber mata air yang jernih dan kemudian
terkumpul dalam cekungan dan kemudian terkenal dengan nama Sendang Kasihan (http://metrotvnews.com).
Selain tempat-tempat tersebut di atas, banyak
pula warga yang melakukan ritual padusan di rumah masing-masing, dan sangat
mungkin di beberapa tempat sakral lainnya, seperti air terjun, sungai, dll.
6. Analisis
a. Ritual Padusan Di tinjau Dari Agama
Islam
Agama islam tidak mensyariatkan secara khusus tentang pelaksanaan
mandi ketika bulan ramadhan datang, namun hanya
menganjurkan bagi umat islam untuk membersihkan diri. Membersihkan diri bisa di
artikan secara harfiah yaitu membersihkan fisik/jasmani yang bersifat lahiriah, Pula bisa di
tafsirkan membersihkan diri pada
tataran jiwa/rohani yang bersifat batiniah.
Namun masyarakat pada umumnya, mengambil makna
yang pertama yaitu membersihkan fisik/jasmani. Oleh karena itu penafsiran
masyarakat pada anjuran itu di aplikasikan dengan mandi. Kemudian mandi yang
dilakukan tidak sekedar mandi, namun dalam ritual mandi tersebut terdapat
akulturasi karena mandi yang dilakukan tidak hanya sekedar mandi sebagaimana
biasanya, namun mandi tersebut dalam rangka membersihkan diri atau mandi besar
seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan junub
(berhadats besar), jadi mandi yang dilaksanakan juga diniati sebagai mandi
besar, yang lebih penting lagi, mandi dilakukan di tempat-tempat tertentu
secara khidmat, seperti di lereng gunung, sungai, pantai, dan lain sebagainya.
Sejalan dengan keterangan di atas, tokoh agama
Islam, KH Muzamil pengasuh pondok pesantren Rohmatul Umah di Tegalsari
Donotirto Kretek memastikan tidak terdapat tuntunan berkaitan dengan
pelaksanaan padusan dalam Al-qur’an maupun hadist. Menurut Muzamil agama Islam
hanya memerintahkan umatnya untuk membersihkan diri sebelum menjalankan ibadah
diantaranya dengan mandi. Namun mandi yang diajurkan oleh agama Islam tidak
harus dilakukan di tempat umum secara
serentak bersama-sama dan bercampur antara laki-laki dan perempuan, karena
melakukan padusan di tempat umum tentu akan lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya (http://infobantul.wordpress.com).
b.
Sistem Nilai Yang Terkandung Dalam Ritual Menyambut Ramadhan
Manusia adalah makhluk budaya dan bersimbol
(Herusantoso, 2001:14), simbol itu terefleksi dengan perilaku-perilaku masyarakat,
kemudian membentuk sistem nilai yang terkandung dalam adat istiadat suatu
budaya tertentu. Termasuk pada
ritual padusan, menurut umat islam pada umumnya dan Jawa khusunya, bulan puasa
adalah bulan penuh berkah sekaligus mempunyai keistimewaan tersendiri, karena
menurut filosofi Jawa sendiri puasa merupakan laku prihatin dan sarana untuk
mendekatkan diri pada tuhan, demi mencapai derajat jalma, winilis, atau manusia
pilihan. Bukan hanya padusan, ada ritual lain yaitu nyadran dan megengan,
berdasarkan urutan pelaksanaanya yaitu: nyadran – padusan – megengan.
Lebih jauh lagi, apa yang di maksud dengan ketiga tradisi “Nyadran,
Padusan, Megengan”? Ritual yang dilakukan menjelang ramadhan, mereka yang
masih hidup diharuskan membuat sesaji berupa kue, minuman, atau kesukaan yang
meninggal. Selanjutnya, sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga
setaman, dan diberi penerangan berupa lampu. Prosesi nyadran saat ini
dilakukan dengan ziarah sambil membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa
permohonan ampun, dan tabur bunga. Itu maknanya sebagai simbol bakti dan
ungkapan terima kasih seseorang terhadap para leluhurnya. Kita akan merasakan
nuansa magis dan unik dalam ritual nyadran. Keunikannya, selain menggunakan
uba rampe tertentu, nyadran dilakukan di situs-situs yang dianggap keramat
dan dipercaya semakin mendekatkan dengan Yang Kuasa. Tempat-tempat itu biasanya
berupa makam leluhur atau tokoh besar yang banyak berjasa bagi siar agama.
Sebagai contoh, di Kabupaten Banyumas, masyarakat melaksanakan nyadran di
makam Syekh Muchorodin atau Mbah Agung Mulyo. Waktu pelaksanaan nyadran
biasanya dipilih pada tanggal 15, 20, atau 23 ruwah atau sya’ban. Pemilihan
tanggal-tanggal itu, di samping berdasar kesepakatan, juga berdasar paham mudhunan
dan munggahan, yaitu paham yang meyakini bulan ruwah sebagai saat turunnya
arwah para leluhur untuk mengunjungi anak cucu di dunia.
Setelah melaksanakan nyadran, masyarakat Jawa biasanya
melakukan penyucian diri melalui ritual yang disebut padusan. Prosesinya
dimulai dengan mengguyur kepala dengan satu gayung air kembang. Seusai itu,
sebuah wadah dari tanah liat yang juga berisi air dan kembang dibanting di depan
kolam tempat padusan, sebagai penutup ritual. Makna simbolis padusan,
sebagai persiapan fisik dan batiniah agar hati menjadi bening, bersih dan
suci, sehingga ketika berpuasa tidak digoda nafsu jahat dan hina. Padusan
juga sangat unik karena pemilihan tempat yang tidak sembarang. Misalnya,
sumber-sumber air alam yang dianggap sakral, seperti Umbul Cokrotulung di
Klaten, Umbul Pengging di Boyolali, Umbul Kayangan di Wonogiri, Umbul Berjo
di Karanganyar, dan lain-lain.
Selanjutnya adalah upacara kenduri atau megengan, yang
dilaksanakan menjelang tenggelamnya matahari di ufuk barat sehari sebelum
tanggal 1 Ramadan. Kata megengan, berasal dari bahasa Jawa “megeng”, yang
berarti menahan. Makna simbolisnya adalah, dalam memasuki puasa Ramadan,
orang Jawa terlebih dulu harus berbuat baik terhadap sesama dan lingkungan
sosialnya. Pada prosesi megengan, biasanya dilantunkan doa-doa permohonan
keselamatan dan kebahagiaan lahir batin bagi seluruh keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
Serangkaian tradisi Jawa menjelang puasa itu memiliki kearifan yang
dalam. Pertama, sebagai sarana menciptakan relasi sosial kemasyarakatan
(horizontal) yang harmonis. Nyadran misalnya, tidak sekadar gotong royong
membersihkan makam leluhur, selamatan dengan kenduri, dan membuat kue apem,
ketan kolak sebagai unsur utama sesaji. Ia lebih menjelma menjadi ajang
silaturahmi, wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa
kebangsaan. Itu terlihat dalam prosesi nyadran, di mana kelompok-kelompok
keluarga atau trah tertentu, tidak terasa terkotak-kotak dalam status sosial,
kelas, agama, golongan, partai politik, dan sebagainya. Perbedaan itu lebur,
karena mereka berkumpul menjadi satu, saling mengasihi satu sama lain. Bahkan,
seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan
bekerja di kota-kota besar. Di sinilah ada hubungan kekerabatan, kebersamaan,
kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Terasa sekali, warga
sekampung seakan satu keturunan. Spirit nyadran itu bila dibawa dalam konteks
negara maka akan menjadikan Indonesia yang rukun, ayom, ayem dan tenteram.
Kedua, wujud
penghargaan kepada leluhur atau pendahulu. Mereka yang pulang dari rantau
mengaitkan nyadran dengan sedekah, beramal kepada para fakir miskin, membangun
tempat ibadah, memugar cungkup dan pagar makam. Kegiatan tersebut sebagai wujud
balas jasa atas pengorbanan leluhur, yang sudah mendidik, membiayai ketika
anak-anak, hingga menjadi orang yang sukses. Singkatnya, mereka ingin “njaga
prajane sing wis sumare” atau usaha anak untuk menjaga citra, wibawa, dan nama
baik leluhurnya.
Ketiga, budaya
membersihkan jasmani dan rohani ketika hendak beribadah atau mendekatkan diri
kepada Tuhan. Kebersihan jasmani melalui ritual padusan diharapkan akan
menyucikan hati dari segenap perasaan iri, dengki, hasut, takabur dan menipu.
Kesucian padusan itu jika dibawa dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara, akan menjauhkan elite politik dan penyelenggara negara dari
perbuatan menjilat, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Tiga tradisi Jawa
menjelang pelaksanaan puasa ini patut dipertahankan. Bukan hanya berbagai
kearifan lokal yang terkandung di dalamnya, lebih dari itu sebagai wujud
pelestarian budaya adiluhung peninggalan nenek moyang.
Namun sayang sekali, tradisi yang memiliki makna begitu mendalam sedikit demi sedikit
makin pupus, lama kelamaan bisa jadi tradisi ini akan punah, karena pada saat
ini pun hanya sebagian saja dari masyarakat jawa yang mengetahuinya, dan itupun
hanya golongan tua, bagaimana dengan generasi muda suku jawa? Para nenek moyang
seharusnya merasa bersedih, karena sangat sedikit anak-anak muda yang
benar-benar mengerti akan kearifan lokal yang terkandung pada tradisi ini.
c. Hal-hal yang mempengaruhi pergeseran nilai budaya
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pergeseran nilai budaya pada suatu masyarakat (termasuk didalamnya pada
masyarakat Jawa):
1)
Sebagai
akibat adanya interaksi antar-budaya dalam
proses globalisasi yang sedang melanda dunia, hal ini tidak hanya pada tataran
antar-budaya di nusantara, juga mencapai antar-budaya diluar budaya yang ada di
tanah air. Faktor ini sangat berpengaruh pada pergeseran tata nilai suatu
budaya, mengapa demikian? Karena Dalam
gerak lintas-budaya ini terjadi berbagai pertemuan antar-budaya (cultural
encounters) yang sekaligus mewujudkan proses saling-pengaruh antar-budaya,
dengan kemungkinan satu pihak lebih besar
pengaruhnya ketimbang pihak lainnya. Pertemuan antar-budaya memang menggejala
sebagai keterbukaan (exposure) pihak yang satu terhadap lainnya; namun
pengaruh-mempengaruhi dalam pertemuan antar-budaya itu tidak selalu berlangsung
sebagai proses dua-arah atau timbal-balik yang berimbang, melainkan bolehjadi
juga terjadi sebagai proses imposisi budaya yang satu terhadap lainnya; yaitu,
terpaan budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya, sehingga
terjadi pergeseran tata nilai pada budaya yang terpengaruh oleh budaya lain.
2)
Media cetak seperti surat kabar, majalah dan
sejenisnya, serta media elektronik menjadi unsur penting dalam pergeseran sistem
nilai budaya. Dewasa ini, akses informasi bisa dilakukan dimana dan kapan saja.
Akses yang begitu mudah membuat wawasan masyarakat makin luas, sehingga
berpengaruh pada pandangan hidup masyarakat itu sendiri. Jika pandangan hidup
suatu masyarakat berubah, maka secara otomatis dengan sendirinya akan terjadi
pergeseran tata nilai budaya, termasuk
didalamnya nilai-nilai adat istiadat yang terkandung dalam ritual-ritual yang
dilakukan masyarakat.
3) Tingkat pendidikan masyarakat. Tingkat Pendidikan pada masyarakat
mempengaruhi pola pikir suatu masyarakat. Pendidikan tinggi membentuk
masyarakat lebih berfikir realistis, namun kurang memperhatikan tradisi-tradisi
lokal dalam menjalankan adat-istiadat yang telah di lakukan sejak nenek moyang
mereka, kemudian ‘malah’ mengkritik dogma-dogma tahayul yang tersimpan dalam
ritual-ritual yang mengakar di masyarakat, padahal didalam suatau tradisi di
masyarakat tentu saja menyimpan kearifan lokal tersendiri yang bermakna.
Kemungkinan yang lain adalah pelaksanaan ritual dengan ‘dangkalnya penghayatan’
karena pengaruh-pengaruh di atas, sehingga, disinilah letak lunturnya sistem nilai
suatu budaya.
d.
Pergeseran Nilai Pada Ritual Padusan
Telah disinggung sebelumnya bahwa Pergeseran
sistem nilai dalam suatu adat atau kebiasaan berkaitan erat dengan pandangan
hidup masyarakat tersebut.
Pergeseran nilai yang terkandung pada padusan
dapat ditinjau dari dua golongan masyarakat, disini penulis membaginya menjadi
dua golongan: golongan pertama, yang berusia kira-kira 35 - 40 keatas; dan
kedua, golongan muda yang meliputi anak-anak dan para remaja.
Pada golongan orang tua, mereka telah
melaksanakan padusan setiap tahunnya, dari kecil hingga usia matang mereka, dan
pada umumnya, mereka telah benar-benar memahami dan menghayati nilai-nilai yang
terselubung dibalik pelaksanaan ritual padusan. Namun yang perlu digaris
bawahi, bahwa tidak semua golongan pertama ini benar-benar mengerti akan
tradisi ini, tujuan yang terkandung di dalamnya, juga kearifan lokal dalam
tradisi tersebut.
Berbeda dengan golongan muda, umumnya telah
pudarnya nilai-nilai adat istiadat pada
ritual-ritual nenek moyang termasuk padusan. Dengan Telah di singgung di atas
beberapa faktor yang mempengaruhi penyebab mengapa hal ini terjadi. Sebagai
contoh: anak muda lebih cenderung melakukan ritual padusan ditempat-tempat
ramai, unsur ‘ikut-ikutan’ dan mengutamakan unsur
rekreasi dan ‘main-main’ lebih dominan
dibanding dengan penghayatan akan nilai-nilai dan kearifan lokal yang
terkandung di dalam tradisi ini.
7. Kesimpulan
Padusan adalah suatu ritual dengan tujuan
membersihkan diri sebelum memasuki bulan puasa/bulan ramadhan. Dan ini
merupakan salah satu tradisi sebagian masyarakat di jawa tengah, karena ada
beberapa daerah di jawa tengah yang tidak mengetahui akan tradisi ini.
Setiap tradisi memiliki makna dan nilai yang
tersimpan di dalamnya, sebagaimana tradisi pada masyarakat jawa lainnya, pada
tradisi ini pula demikian adanya, memiliki makna dan nilai, sebagai ajang
menyambut bulan ramadhan dengan membersihkan diri dari kotoran-kotoran,
kemudian dilaksanakannya mandi besar. Tidak hanya itu mereka juga berharap agar
dibersihkan hati dari sifat iri, dengki, dan penyakit-penyakit hati. Karena
mereka ingin menjalan puasa dengan kondisi bersih jiwa dan raga, lahir maupun
batin.
Lantas pada masa kini terjadi pergeseran nilai
pada tradisi ini memang tidak dapat di hindari, pengaruh interaksi
antar-budaya, meluasnya berbagai media cetak maupun media elektonik, serta
tingkat pendidikan masyarakat, yang kemudian berpengaruh pada pola pikir dan
sudut pandang masyarakat menjadi faktor terjadinya pergeseran-pergeseran nilai
pada tradisi-tradisi tersebut.
Daftar Pustaka
Herusantoso, Budiono. 2001. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widia.
Hadiatmaja, Sarjana, dan Kuswa Endah. 2008. Pranata Sosial Dalam
Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Grafika Indah.
Metro Siang / Nusantara / Jumat, 21 Agustus
2009 12:53.WIB. http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2009/08/21/88753/Padusan.Ritual.Mandi.Masyarakat.Yogyakarta.Jelang.Ramadhan/112.
Di akses pada 11 September 2009. 12.26 WIB.
Malau, Ita Lismawati F. 21 Agustus 2009, 16:39 WIB. http://nasional.vivanews.com/news/read/84474-ribuan_warga_padusan_di_pantai_parangtritis.
Di akses pada 11 September 2009. 11.49 WIB.
Media Indonesia. 21 Agustus 2009. 19:22 WIB. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91625/124/101/Ribuan-Warga-Bantul-Ikuti-Tradisi-Padusan-.
di akses pada 11 September 2009. 12.13 WIB.
Mozaik Ramadhan. 22 Agustus 2009. http://infobantul.wordpress.com/2009/08/24/tradisi-padusan/.
Di akses pada 110909. 11.33 WIB.
Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Husni dan Elda. 11 September 2007. Balimau.
http://hums07.multiply.com/reviews/item/41 16.23.
Di akses pada 04 Desember 2009. 16.23 WIB.
Cyberiedu. 11 September 2007. Munggahan.
http://ridu.web.id/2007/09/11/munggahan/.
Diakses pada 04 Desember 2009. 16.25 WIB.
Gazalba, Sidi. 1963. Pengantar Kebudajaan
Sebagai Ilmu. Jakarta: Pustaka Antara.
Tanpa Nama. 20 Juli, 2008. 04:29 WIB. Membaca
Jawa: Studi Atas Interaksi Kebudayaan Jawa, Hindu Budha Sebelum Islam. http://kabartersiar.wordpress.com/2008/07/20/membaca-jawa-studi-atas-interaksi-kebudayaan-jawa-hindu-budha-sebelum-islam/.
Diakses pada 25 November 2009. 13.30 WIB.
Ozy, Gunawan. 24 Maret 2008. Pertemuan Antar Budaya Dalam Era
Globalisasi. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/tugas-kuliah-lainnya/pertemuan-antar-budaya-dalam-era-globalisasi.
di akses pada 10 Desember 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar