Sabtu, 23 Maret 2013

SASTRA INDONESIA PERIODE SEBELUM BALAI PUSTAKA



        Disusun Oleh: Nita Zakiyah, Siti Mahmudah Abadiyah, dan Sufyan Tsauri

Perjalanan sejarah sastra Indonesia telah melalui perjalanan panjang, dari masa ke masa mengalami kemajuan dan perkembangan. Sebagaimana dalam sejarah sosial perubahan cara berpikir dan bertindak masyarakat dalam berkebudayaan dipengaruhi oleh banyak factor, salah satunya disebabkan oleh adanya teknologi. Revolusi industri di eropa yang menghasilkan begitu banyak peralatan teknologi dan industri telah menggelinding masyarakat dari cara pandang dan cara tindak tradisional ke dunia modern. Salah satunya adalah alat cetak dan perkembangan dunia penerbitan yang menggunakan alat cetak itu.
Sistem penerbitan di Indonesia dari tradisional ke modern, juga ditandai dengan datangnya mesin cetak yang di dibawa dari Belanda oleh para misionaris gereja tahun 1624. tetapi, tiadanya tenaga ahli yang dapat menjalankan mesin itu, menyebabkan tidak ada kegiatan apapun berkenaan dengan percetakan. Pada tahun 1659, Cornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memproduksi Tijtboek, semacam almanak. Setelah itu, kembali kegiatan percetakan mengalami tidur panjang.
Selama hampir empat dasawarsa, perkembangan percetakan masih seputar mencetak dokumen-dokumen resmi, menyadari banyaknya dokumen yang harus dicetak, pemerintah kemudian mendatangkan dua mesin cetak dari Belanda tahun 1718. Pemerintah sendiri menangani cetakan dokumen-dokumen resmi,sedangkan cetakan lain diserahkan pada percetakan swasta. Percetakan pemerintah pun mulai mencetak berita-berita dalam bentuk laporan berkala, ringkasan surat-surat resmi yang dianggap penting dan maklumat atau pengumuman pemerintah, percetakan swasta juga mulai melakukan hal yang sama. Bahkan dalam berita berkala itu, disertakan jadwal pemberangkatan dan kedatangan kapal, daftar harga komoditas pertanian, dan lain-lain. Cetakan berkala itulah yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya surat kabar.   
            Riwayat sastra Indonesia dalam khazanah sastra Indonesia seolah-olah berpangkal dengan didirikannya lembaga Balai Pustaka yang merupakan nama popular dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur) pada 22 september 1917, yang sebelumnya bernama “Komisi untuk Bacaan Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de inlandsche en volklecteuur) yang berdiri tahun1908. Sepanjang didirikan hingga berganti nama menjadi kantor bacaan rakyat naskah yang masuk  598 berbahasa Jawa, 204 berbahasa Sunda, dan 96 berbahasa melayu. Namun sampai tahun 1928, Balai Pustaka menerbitkan tidak lebih dari 20 novel. Sedangkan banyak sekali karya-karya sastra yang telah diterbitkan oleh penerbit swasta dan tersebar di masyarakat luas sebelum periode Balai Pustaka. Karena peranan penerbit swasta dapat menjangkau wilayah yang jauh lebih luas dengan pembaca yang jauh lebih banyak, tampak tidak hanya dari persebaran agen dan distributor penerbit-penerbit itu, tapi juga dari sejumlah karya yang mengalami cetak ulang. Disinilah muncul kesadaran pemerintah kolonial akan bahaya pengaruh bahan bacaan yang akan mengantar menjadi bangsa yang cerdas. Dan suatu fenomena penting adalah bahwa salah satu alasan pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka, justru karena keberadaan penerbit-penerbit swasta.
Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, mempunyai peran istimewa dalam perjalanan sastra Indonesia, dan juga yang menandai bahwa lembaga penerbitan kolonial dan karya-karya yang di terbitkannya pernah berwibawa, merupakan sekumpulan orang terhormat, terpelajar serta menjadi ikon kebudayaan elit, dan seolah-olah yang paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa, dan kebudayaan Indonesia. Sehingga puluhan karya yang terbit sebelumnya dan diluar dinafikan begitu saja.
Sistem penerbitan di awal kesusastraan Indonesia menampakkan pengaruh dominan kekuasaan pemerintah belanda, serta berperan dalam perjalanan kesusastraan bangsa ini, meski dibalik didirikannya Balai Pustaka, terselubung kepentingan politik, idiologi dan dengan berbagai rekayasanya.
Bukan suatu yang mengherankan apabila pernah muncul istilah-istilah bernuansa negatif seperti “bacaan liar” atau “roman picisan” untuk karya-karya sebelum maupun diluar Balai Pustaka yang tidak diterbitkan oleh lembaga ini.
Sebagaimana yang telah ditulis sebelumnya, karya-karya sastra sebelum Balai Pustaka dinafikan begitu saja dan berlabel “bacaan liar” itu sangat boleh jadi diukur oleh kemapanan yang melekat dan coba dibangun terus oleh Balai Pustaka, seperti telah dikemukakan oleh Ajip Rosidi, karya-karya semacam ini terbit diluar balai pustaka, umumnya ditulis dengan bahasa melayu pasar dan bertema seputar masalah erotis, seksual, criminal, atau tema-tema lain yang cenderung dinilai rendah dipandang dari sudut atu standar moral tertentu. Demikian pula dengan istilah “roman picisan”, sangat bertalian dengan kualitas karya yang yang rendah mutu dan penyajiannya, bergeser dari makna semula yang berarti karya-karya tipis yang murah harganya. Ditilik dari asal-muasalnya, istilah ini tidak dapat dipisahkan dari orang yang pernah menyebutnya, yaitu Roolvink, yang pernah menulis artikel berjudul “De Indonesiase ‘Dubbeltjesroman’” yang telah diindonesiakan menjadi “’Roman Pitjisan’ bahasa Indonesia” dan dimuat dalam buku A.Teeuw.”
Namun menurut Maman S Mahayana, label “bacaan liar” dikemukakan oleh direktur Balai Pustaka dengan tujuan memicu isu negatif terhadap karya-karya yang diterbitkan penerbit-penerbit swasta baik sebelum maupun diluar Balai Pustaka yang pengaruhnya disadari akan mengancam kelangsungan kekuasaan kolonial ditanah jajahan (karena dianggap menyusupkan ideologi). Disamping itu, pernyataan “bacaan liar” sangat menguntungkan pihak pemerintah kolonial karena dapat pula berpengaruh pada usaha bangsa belanda dalam membangun citra dan reputasinya sebagai bangsa beradab yang hendak mengangkat bangsa pribumi dari keterbelakangan, dengan demikian dapat menutupi kebohongan-kebohongannya.
Oleh karena itu, karya-karya diluar terbitan Balai Pustaka tentu saja layak diperhitungkan dan diperbincangkan. Menurut ibnu Wahyudi, karya-karya tersebut dibangun berdasarkan sejumlah kenyataan sosiologis dan memberi petunjuk kepada pembaca bahwa yang dituliskan itu tidak lain merupakan semacam upaya dokumentasi apa-apa yang pernah terjadi, kendati kualitas peristiwanya itu sendiri bisa sangat biasa dan terbatas, dengan demikian kenyataannya bahwa karya-karya sastra tersebut cenderung ditulis secara apa adanya dan nyaris tanpa suatu pengolahan yang bersifat kreatif-imajinatif, namun bukan untuk mengatakan bahwa tidak ada sama sekali segi kreatif-imajinatif yang diterapkan. Contoh judul dari karya-karya tersebut adalah: “Satoe tjerita jang amat loetjoe, indah dan ramie dan jang betoel soedah kadjadian kira-kira saratoes taoen laloeh di tanah Djawa koeloen”, atau “Satoe tjerita jang betoel soeda kadjadian di Batavia kampoeng Pantjoran”, dan lain-lain. Inilah kenyataan sosiologis yang ikut menegaskan bahwa karya-karya sastra pada masa sebelum Balai Pustaka itu adalah karya-karya popular; sebuah kecenderungan berkarya yang sangat mempertimbangkan factor pembaca sebagai konsumen. Dengan kata lain, orientasi berkarya pada waktu itu adalah orientasi pasar. Kesan-kesan yang demikian juga ditanamkan oleh kolonial untuk menempelkan cap “karya rendahan” pada karya-karya sebelum dan diluar Balai Pustaka, hanya dibaca oleh orang-orang tidak berpendidikan yang tingkat kemampuan membacanya sangat rendah.  

Dilihat dari identitas pengarangnya, karya-karya sastra Indonesia yang pernah terbit sebelum Balai pustaka dapat dipilah menjadi tiga kelompok besar yaitu:
  1. para penulis Indo-Eropa
  2. kelompok penulis peranakan-cina (Tionghoa)
  3. kelompok penulis pribumi
Namun demikian perlu buru-buru dinyatakan disini bahwa asal atau latar identitas itu tidak akan dipergunakan untuk menyebut mereka sebagai bukan pengarang Indonesia, utamanya kepada penulis yang bukan pribumi itu, dalam hal ini, identitas pengarang menjadi tidak terlalu dipermasalahkan mengingat bahwa pada masa itu belum ada suatu sistem identifikasi yang adil dan jelas terhadap mereka yang di sebut sebagai “orang Indonesia”. Oleh karena hal yang sedemikian itu, para penulis peranakan-Cina atau indo-Eropa akan dinyatakan sebagai pengarang Indonesia apabila yang bersangkutan pernah menghasilkan karya sastra asli dalam bahasa Indonesia/melayu dengan huruf latin sebagai media penyampaiannya. Dengan demikian jelas bahwa sikap yang dipergunakan untuk menentukan ”keindonesiaan” bukan dari identitas pengarangnya melainkan dari karya yang dihasilkan. Dan kelompok-kelompok tersebut masih terus eksis pada masa diluar balai pustaka.
            Demikian sejarah singkat tentang periode sebelum Balai Pustaka dan sedikit menyinggung sisi lain Balai Pustaka (pada karya-karya diluar terbitannya) yang mengalami nasib hampir serupa. Dianggap membahayakan pemerintahan kolonial sehingga mereka berupaya melahirkan isu negatif (“bacaan liar” atau “roman picisan”) di atas karya-karya terbitan partikular (swasta) tersebut.  
Dapat disimpulkan bahwa ada kepentingan politik dibalik didirikannya Balai Pustaka, meski disisi lain, dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia, berdirinya Balai Pustaka mempunyai arti penting, betapapun didalamnya dilatar belakangi oleh persoalan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar