Disusun Oleh: Nita Zakiyah, Siti Mahmudah Abadiyah, dan Sufyan Tsauri
Perjalanan sejarah sastra Indonesia telah melalui perjalanan panjang, dari
masa ke masa mengalami kemajuan dan perkembangan. Sebagaimana dalam sejarah
sosial perubahan cara berpikir dan bertindak masyarakat dalam berkebudayaan
dipengaruhi oleh banyak factor, salah satunya disebabkan oleh adanya teknologi.
Revolusi industri di eropa yang menghasilkan begitu banyak peralatan teknologi
dan industri telah menggelinding masyarakat dari cara pandang dan cara tindak
tradisional ke dunia modern. Salah satunya adalah alat cetak dan perkembangan
dunia penerbitan yang menggunakan alat cetak itu.
Sistem penerbitan di Indonesia dari tradisional ke modern, juga ditandai
dengan datangnya mesin cetak yang di dibawa dari Belanda oleh para misionaris
gereja tahun 1624. tetapi, tiadanya tenaga ahli yang dapat menjalankan mesin
itu, menyebabkan tidak ada kegiatan apapun berkenaan dengan percetakan. Pada
tahun 1659, Cornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memproduksi Tijtboek,
semacam almanak. Setelah itu, kembali kegiatan percetakan mengalami tidur
panjang.
Selama hampir empat dasawarsa, perkembangan percetakan masih seputar
mencetak dokumen-dokumen resmi, menyadari banyaknya dokumen yang harus dicetak,
pemerintah kemudian mendatangkan dua mesin cetak dari Belanda tahun 1718.
Pemerintah sendiri menangani cetakan dokumen-dokumen resmi,sedangkan cetakan
lain diserahkan pada percetakan swasta. Percetakan pemerintah pun mulai
mencetak berita-berita dalam bentuk laporan berkala, ringkasan surat-surat
resmi yang dianggap penting dan maklumat atau pengumuman pemerintah, percetakan
swasta juga mulai melakukan hal yang sama. Bahkan dalam berita berkala itu,
disertakan jadwal pemberangkatan dan kedatangan kapal, daftar harga komoditas
pertanian, dan lain-lain. Cetakan berkala itulah yang kelak menjadi cikal bakal
lahirnya surat kabar.
Riwayat
sastra Indonesia dalam khazanah sastra Indonesia seolah-olah berpangkal dengan
didirikannya lembaga Balai Pustaka yang merupakan nama popular dari Kantor
Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur) pada 22 september 1917, yang
sebelumnya bernama “Komisi untuk Bacaan Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie
voor de inlandsche en volklecteuur) yang berdiri tahun1908. Sepanjang
didirikan hingga berganti nama menjadi kantor bacaan rakyat naskah yang masuk 598 berbahasa Jawa, 204 berbahasa Sunda, dan 96
berbahasa melayu. Namun sampai tahun 1928, Balai Pustaka menerbitkan tidak
lebih dari 20 novel. Sedangkan banyak sekali karya-karya sastra yang telah diterbitkan
oleh penerbit swasta dan tersebar di masyarakat luas sebelum periode Balai
Pustaka. Karena peranan penerbit swasta dapat menjangkau wilayah yang jauh
lebih luas dengan pembaca yang jauh lebih banyak, tampak tidak hanya dari
persebaran agen dan distributor penerbit-penerbit itu, tapi juga dari sejumlah
karya yang mengalami cetak ulang. Disinilah muncul kesadaran pemerintah kolonial
akan bahaya pengaruh bahan bacaan yang akan mengantar menjadi bangsa yang
cerdas. Dan suatu fenomena penting adalah bahwa salah satu alasan pemerintah
Belanda mendirikan Balai Pustaka, justru karena keberadaan penerbit-penerbit
swasta.
Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, mempunyai
peran istimewa dalam perjalanan sastra Indonesia, dan juga yang menandai bahwa
lembaga penerbitan kolonial dan karya-karya yang di terbitkannya pernah berwibawa,
merupakan sekumpulan orang terhormat, terpelajar serta menjadi ikon kebudayaan
elit, dan seolah-olah yang paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa, dan
kebudayaan Indonesia. Sehingga puluhan karya yang terbit sebelumnya dan diluar dinafikan
begitu saja.
Sistem penerbitan di awal kesusastraan Indonesia menampakkan pengaruh
dominan kekuasaan pemerintah belanda, serta berperan dalam perjalanan
kesusastraan bangsa ini, meski dibalik didirikannya Balai Pustaka, terselubung
kepentingan politik, idiologi dan dengan berbagai rekayasanya.
Bukan suatu yang mengherankan apabila pernah muncul istilah-istilah
bernuansa negatif seperti “bacaan liar” atau “roman picisan” untuk karya-karya sebelum
maupun diluar Balai Pustaka yang tidak diterbitkan oleh lembaga ini.
Sebagaimana yang telah ditulis sebelumnya, karya-karya sastra sebelum
Balai Pustaka dinafikan begitu saja dan berlabel “bacaan liar” itu sangat boleh
jadi diukur oleh kemapanan yang melekat dan coba dibangun terus oleh Balai
Pustaka, seperti telah dikemukakan oleh Ajip Rosidi, karya-karya semacam ini
terbit diluar balai pustaka, umumnya ditulis dengan bahasa melayu pasar dan
bertema seputar masalah erotis, seksual, criminal, atau tema-tema lain yang
cenderung dinilai rendah dipandang dari sudut atu standar moral tertentu. Demikian
pula dengan istilah “roman picisan”, sangat bertalian dengan kualitas karya
yang yang rendah mutu dan penyajiannya, bergeser dari makna semula yang berarti
karya-karya tipis yang murah harganya. Ditilik dari asal-muasalnya, istilah ini
tidak dapat dipisahkan dari orang yang pernah menyebutnya, yaitu Roolvink, yang
pernah menulis artikel berjudul “De Indonesiase ‘Dubbeltjesroman’” yang telah
diindonesiakan menjadi “’Roman Pitjisan’ bahasa Indonesia” dan dimuat dalam
buku A.Teeuw.”
Namun menurut Maman S Mahayana, label “bacaan liar” dikemukakan oleh
direktur Balai Pustaka dengan tujuan memicu isu negatif terhadap karya-karya
yang diterbitkan penerbit-penerbit swasta baik sebelum maupun diluar Balai
Pustaka yang pengaruhnya disadari akan mengancam kelangsungan kekuasaan
kolonial ditanah jajahan (karena dianggap menyusupkan ideologi). Disamping itu,
pernyataan “bacaan liar” sangat menguntungkan pihak pemerintah kolonial karena dapat
pula berpengaruh pada usaha bangsa belanda dalam membangun citra dan
reputasinya sebagai bangsa beradab yang hendak mengangkat bangsa pribumi dari
keterbelakangan, dengan demikian dapat menutupi kebohongan-kebohongannya.
Oleh karena itu, karya-karya diluar terbitan Balai Pustaka tentu saja layak
diperhitungkan dan diperbincangkan. Menurut ibnu Wahyudi, karya-karya tersebut
dibangun berdasarkan sejumlah kenyataan sosiologis dan memberi petunjuk kepada
pembaca bahwa yang dituliskan itu tidak lain merupakan semacam upaya
dokumentasi apa-apa yang pernah terjadi, kendati kualitas peristiwanya itu
sendiri bisa sangat biasa dan terbatas, dengan demikian kenyataannya bahwa karya-karya
sastra tersebut cenderung ditulis secara apa adanya dan nyaris tanpa suatu
pengolahan yang bersifat kreatif-imajinatif, namun bukan untuk mengatakan bahwa
tidak ada sama sekali segi kreatif-imajinatif yang diterapkan. Contoh judul
dari karya-karya tersebut adalah: “Satoe tjerita jang amat loetjoe, indah dan
ramie dan jang betoel soedah kadjadian kira-kira saratoes taoen laloeh di tanah
Djawa koeloen”, atau “Satoe tjerita jang betoel soeda kadjadian di Batavia
kampoeng Pantjoran”, dan lain-lain. Inilah kenyataan sosiologis yang ikut
menegaskan bahwa karya-karya sastra pada masa sebelum Balai Pustaka itu adalah
karya-karya popular; sebuah kecenderungan berkarya yang sangat mempertimbangkan
factor pembaca sebagai konsumen. Dengan kata lain, orientasi berkarya pada
waktu itu adalah orientasi pasar. Kesan-kesan yang demikian juga ditanamkan
oleh kolonial untuk menempelkan cap “karya rendahan” pada karya-karya sebelum
dan diluar Balai Pustaka, hanya dibaca oleh orang-orang tidak berpendidikan yang
tingkat kemampuan membacanya sangat rendah.
Dilihat dari identitas pengarangnya, karya-karya sastra Indonesia yang
pernah terbit sebelum Balai pustaka dapat dipilah menjadi tiga kelompok besar yaitu:
- para penulis Indo-Eropa
- kelompok penulis peranakan-cina (Tionghoa)
- kelompok penulis pribumi
Namun demikian
perlu buru-buru dinyatakan disini bahwa asal atau latar identitas itu tidak
akan dipergunakan untuk menyebut mereka sebagai bukan pengarang Indonesia,
utamanya kepada penulis yang bukan pribumi itu, dalam hal ini, identitas
pengarang menjadi tidak terlalu dipermasalahkan mengingat bahwa pada masa itu
belum ada suatu sistem identifikasi yang adil dan jelas terhadap mereka yang di
sebut sebagai “orang Indonesia”. Oleh karena hal yang sedemikian itu, para
penulis peranakan-Cina atau indo-Eropa akan dinyatakan sebagai pengarang
Indonesia apabila yang bersangkutan pernah menghasilkan karya sastra asli dalam
bahasa Indonesia/melayu dengan huruf latin sebagai media penyampaiannya. Dengan
demikian jelas bahwa sikap yang dipergunakan untuk menentukan ”keindonesiaan”
bukan dari identitas pengarangnya melainkan dari karya yang dihasilkan. Dan kelompok-kelompok
tersebut masih terus eksis pada masa diluar balai pustaka.
Demikian sejarah singkat tentang
periode sebelum Balai Pustaka dan sedikit menyinggung sisi lain Balai Pustaka (pada
karya-karya diluar terbitannya) yang mengalami nasib hampir serupa. Dianggap
membahayakan pemerintahan kolonial sehingga mereka berupaya melahirkan isu
negatif (“bacaan liar” atau “roman picisan”) di atas karya-karya terbitan partikular
(swasta) tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa ada kepentingan politik dibalik didirikannya
Balai Pustaka, meski disisi lain, dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia,
berdirinya Balai Pustaka mempunyai arti penting, betapapun didalamnya dilatar belakangi
oleh persoalan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar