Rabu, 24 Oktober 2012

BEKERJA ITU IBADAH



Oleh: KH. Abd Syukur Syah


Alqur’an membahas etos kerja dalam banyak ayat. Etos kerja seseorang akan semakin bergairah jika dipahami atas dasar apa yang melandasinya. Ada tiga hal yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an mengenai etos kerja seorang muslim.
1.      Kerja adalah ibadah
و ما خلقت الجنّ و الإنس إلاّ ليعبدون
 
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-dzariyat:56)

2.      Kerja adalah amanah

إنّا عرضنا الأمانة على السموات و الأرض والجبال فأبين أن يحملنها و أشفقن منها و حملها الإنسان إنّه كان ظلوما جهولا 
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh (QS. Al-Ahzab: 72)


3.      Kerja adalah rahmah

و إذ تأذّن ربّكم لئن شكرتم لأزيدنّكم و لئن كفرتم إنّ عذابي لشديد
  
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (QS. Ibrahim: 7).

Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan kerjasama semangat keikhlasan dan kebersamaan dari semua elemen yang ada.

Kerja dalam kategori ibadah dapat dipahami dengan mengerti apa itu ibadah. Ibadah dalam pengertian istilah adalah taqarrub ilallah  atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ibadah terbagi ke dalam dua: (1) ibadah ‘ammah (umum); dan (2) ibadah khas (khusus). Ibadah dalam pengertian umum meliputi kehidupan sosial, ekonomi, politik, seni budaya, dll. Sedangkan ibadah dalam pengertian khusus ialah yang tata caranya diatur di alam syari’at, di antaranya: puasa, zakat, shalat, thaharah, haji, dsb. Ibadah umum mempunyai kaidah dasar yakni semua atau apa saja boleh kecuali yang dilarang. Artinya semua aktivitas yang erkaitan dengan ibadah, urusan apapun bentuknya  itu hukumnya adalah boleh selama tidak ada nash yang melarangnya. Jadi semua pekerjaan itu boleh selama tidak ada ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang melarangnya. Sebaliknya, kaidah yang berlaku di dalam ibadah khas (khusus) adalah: semuanya dilarang kecuali yang sudah ada perintahnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

            Bekerja harus disertai rasa ikhlas. Ikhlas tidak hanya didasarkan pada niat semata, namun ada hal lain yang harus melengkapi sebuah niat agar ia bisa dikatakan ikhlas adalah itqan (tekun) dalam amal dan sikap terhadap hasil. Tidak cukup dikatakan ikhlas dengan hanya mendasarkan pada niat yang lurus semata. Niat Lillahi Ta’ala hanya karena Allah. Niat juga bisa dilihat dari motivasi melakukan ibadah atau pekerjaan karena menganggap itu sebagai beban ada yang wajib, kebutuhan, rasa syukur, dan terakhir ada juga karena cinta. Tingkatan terakhir (karena cinta) merupakan landasan terbaik sebuah niat sehingga ketulusannya benar-benar teruji.

Sebuah niat akan diuji dengan ketekunan niat yang lurus akan gagal dikatakan ikhlas jika pekerjaan yang dilakukan dengan ‘setengah-setengah’  tidak dengan sepenuh hati. Maka keikhlasan membutuhkan itqan. Sehingga akan melahirkan sebuah profesionalisme. Profesionalisme yang diwarnai dengan kerja keras, jujur, terampil, disiplin, kerjasama, dan penuh rasa tanggung jawab.

Keikhlasan tidak sampai pada tataran profesionalisme kerja saja, namun keikhlasan masih harus ditentukan dengan sikap dalam menghadapi hasil yang diperoleh. Dikatakan ikhlas yang sempurna ketika niat sudah lurus dan bekerja sepenuh hati serta menyikapi hasil yang diperoleh dengan syukur dan sabar. Ketika ada rasa kagum terhadap pekerjaan yang telah dilakukan, maka sudah timbul kesombongan dalam diri. Dan itu telah merusak keikhlasan. Bersyukur terhadap nikmat, lapang dada, rendah hati, berbagi kegembiraan, serta introspeksi menjadi hal yang diperlukan untuk menyempurnakan keikhlasan ketika sebuah pekerjaan telah berhasil diselesaikan, tak peduli pekerjaan itu berhasil dilakukan dengan baik atau gagal. Bersyukur itu tidak ada kata ‘cuma’, misalnya: “Alhamdulillah naik pangkat tapi ‘cuma’ sebagai asisten”. Jika benar-benar bersyukur ia akan mantap mengatakan Alhamdulillah tanpa embel-embel kata Cuma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar