A. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam
menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran.
Menurut Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikan sebagai:
“Pengarahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara sampai
ketingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak
bisa lagi berupaya lebih dari itu’.
Sedangkan al-Baidawi, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah
mendefinisikan sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum
syara”. Lebih jelas lagi definisi ijtihad menurut Abu Zahrah, ahli Ushul Fiqh
mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli Fiqh akan kemampuannya
dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu
persatu dalilnya”. Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang
mengerahkan kemampuannya itu adalah ahli Fiqh.
B.
Dasar Hukum Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukan kebolehan melakukan ijtihad. Antara lain:
1. Ayat 50 Surat
an-Nisa:
يا أيها الذين ءامنوا أطيعو الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر
منكم فإن تنازعتم في شيئ فردوه إلي الله و الرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم
الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا (النساء: 59 )
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS: an-Nisa’59)
2. Hadits yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan
diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa yang ia memutuskan hukum,
ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah
Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad.
C.
Fungsi Ijtihad
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak
sampai ketingkat Hadits Mutawatir seperti Hadits Ahad, atau sebagai upaya
memahami redaksi ayat atau hadits yang tegas pengertiannya sehingga tidak
langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah
seperti dengan qiyas, istihsan, dan marsalah mursalah.
D. Syarat-syarat Seorang Mujtahid
Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seorang mujtahid:
- Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat.
- Mengetahui tentang hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara, seperti telah diuraikan pada syarat pertama. Seperti halnya AL-Qur’an, maka dalam masalah hadits juga tidak mesti dihafal seluruh hadits yang berhubungan dengan hukum.
- Mengetahui tentang mana ayat atau hadits yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya)
- Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempat
- Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, tentang ‘illat hokum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat dan hadits
- Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu Bantu yang berhubungan dengannya
- Menguasai ilmu Ushul Fiqh, seperti tentang hokum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistinbatkan hukum dan sumber-sumber tersebut.
- Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
E.
Hukum Berijtihad
Para ulama Ushul Fiqh antara lain
al-Tayyib Khuderi al-Sayyid, berpendapat bahwa bilamana syarat-syarat tersebut
di atas telah cukup pada diri seseorang, hokum melakukan ijtihad baginya fardhu
‘ain, bisa fardhu kifayah, bisa mandub (sunat) dan
bisa pula haram.
Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ‘ain (wajib dilakukan oleh
setiap orang yang mencukupi syarat-syarat di atas)
Melakukan ijtihad menjadi wajib kifayah jika disampingnya ada lagi
mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
Berijtihad hukumnya sunnah dalam dua hal:
- Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya
- Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang
Sedangkan berijtihad haram hukumnya dalam dua hal,
yaitu:
- Berijtihad dalam hal-hal ada nash yang tegas (qath’ty) baik berupa ayat atau hadits Rasulullah, atau hasil ijtihad itu menyalahi ijma. Ijtihad hanya dibolehkan pada hal-hal yang selain itu.
- Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seperti yang telah dijelaskan pada bagian syarat-syarat seorang mujtahid di atas.
F.
Tingkatan-tingkatan
Mujtahid
Abu Zahrah membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu Mujtahid Mustaqil,
Mujtahid Muntasib, Mujtahid Fi al-Mazhab, dan Mujtahid Fi at-Tarjih.
1.
Mujtahid Mustaqil
(independen) adalah tingkat tertinggi, oleh Abu Zahrah disebut juga sebagai al-Mujtahid
Fi al-Syar’I, atau disebut juga Mujtahid Mutlaq.
2.
Mujtahid Muntasib, yaitu
mujtahid yang dalam masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia
mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh salah seorang Imam
Mujtahid Mustaqil, seperti berpegang kepada Ushul Fiqh Abu Hanifah.
3.
Mujtahid Fi al-Mazhab,
yaitu tingkat mujtahid yang dalam Ushul Fiqh dan Furu’ bertaklid kepada Imam
mujtahid tertantu.
4.
Mujtahid Fi at- Tarjih,
yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbatkan hokum tetapi
terbatas membandingkan berbagai mazhab dan pendapat.
G.
Macam-macam Ijtihad
Ijtihad dilihat dari segi jumlah pelakunya dibagi
menjadi dua: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i. Menurut al-Tayyib
Khuderi al-Sayyid, yang dimaksud Ijtihad fardi adalah Ijtihad yang
dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya, Ijtihad
yang dilakukan oleh para Imam mujtahid besar, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan
Ahmad bin Hanbal.
Sedangkan Ijtihad Jama’i adalah apa yang
dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu kesepakatan
para mujtahid dari umat Muhammad SAW. Setelah Rasulullah wafat dalam masalah
tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar