BERPIKIR DEDUKTIF
I.
Pengertian
a. Berpikir
Berpikir adalah
proses yang berlangsung di dalam otak, merupakan upaya memecahkan masalah untuk
mencapai suatu tujuan. [1]
b.
Deduktif
Ø
Etimologi : Bersifat deduksi, yaitu penyimpulan atau
ringkasan.
Ø
Terminologi : Penarikan kesimpulan dari yang berbentuk
umum ke bentuk khusus, dimana kesimpulan itu dengan sendirinya muncul dari satu
atau beberapa premis. [2]
II. Cara Berpikir Deduktif
|
Prinsip deduksi adalah apa
saja yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam suatu kelas atau jenis,
berlaku juga sebagai hal yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam
kelas atau jenis itu. Jika orang dapat membuktikan bahwa suatu peristiwa
termasuk dalam kelas yang dipandang benar, maka secara logik dan otomatik orang
dapat menarik kesimpulan bahwa kebenaran yang terdapat dalam kelas itu juga
menjadi kebenaran bagi peristiwa yang khusus itu.
Metode deduktif merupakan
pendekatan sistematis yang pertama dan tertua, dipelopori oleh Aristoteles pada
zaman Yunani kuno, yang dikenal dengan silogisme Aristoteles. Alat untuk
mencapai pengetahuan dengan jalan deduksi disebut silogisme (syillogisme
dalam bahasa Yunani berarti konklusi). Pada silogisme ini, pengetahuan baru,
baik mengenai “dunia alam” maupun “dunia sosial”, diperoleh melalui kesimpulan
deduktif. Karena menggunakan kesimpulan deduktif, maka harus ada pengetahuan
atau dalil umum (yang oleh Aristoteles disebut premis mayor) yang menjadi
sandaran atau dasar berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Dalam silogisme
Aristoteles, dari premis mayor ke kesimpulan deduktif (yang merupakan aplikasi
atau implikasi logis premis mayor) dijembatani oleh “premis titian”, oleh
Aristoteles disebut premis minor. Contoh sederhananya seperti berikut:
Premis Mayor
: Semua manusia tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Premis Minor
: Aristoteles adalah manusia.
Kesimpulan deduktif :
Aristoteles juga tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.[4]
Deduksi ini telah menjadi alat yang sangat berguna
berabad-abad lamanya dan sampai sekarang
masih besar sekali faedahnya. Dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa, seorang
pejabat,para hakim, dokter, tentara, detektif, dan lain sebagainya, kerapkali
menyandarkan diri pada argumentasi deduktif. Berpikir deduktif memungkinkan
seorang detektif mengatur premis-premis dalam rangkaian yang sedemikian rupa
sehingga menjadi bukti-bukti yang konklusif untuk membenarkan suatu konklusi
yang khusus.
Hal semacam itu juga dilakukan oleh seorang dokter.
Dia menyelidiki penderita yang datang kepadanya, memeriksa seluruh badannya,
dan kemudian mencocokkan keadaan penderita itu dengan pengetahuan kedokteran
yang sudah dimilikinya. Dari itu dia menentukan atau mengambil konklusi
penyakit apa yang diderita oleh pasien tersebut. Jika dokter itu kemudian
memberikan pengobatan atau resep, maka dia telah menggambarkan bagaimana hasil
dari pengobatan itu.
III. Jenis-Jenis Silogisme
1. Silogisme Kategorik
Dalam
silogisme kategorik premis mayor mempunyai kebenaran yang mutlak. Hubungan
antara premis mayor dan premis minor adalah sedemikian rupa, sehingga secara
logik proposisi yang ketiga akan menjadi konsekuensinya. Dengan begitu asalkan
orang menerima dua proposisi yang sama, mau tidak mau ia harus menerima
proposisi yang ketiga. Contoh:
·
Premis mayor: Semua manusia
pasti akan meninggal dunia.
·
Premis minor : Raja adalah
seorang manusia .
·
Konklusi : Jadi, raja juga akan meninggal dunia.
2. Silogisme kondisional hipotetik atau bersyarat
Dalam
silogisme hipotetik, premis mayor tidaklah mengandung kebenaran yang mutlak. Kebenaran
yang dikandung oleh suatu penarikan kesimpulan dari silogisme hipotetik
tergantung sekali kepada berapa besarnya kebenaran yang dikandung oleh premis
mayornya. Premis biasanya telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
kesalahan (probable errors) yang disebabkan oleh variabilitas gejala
yang oleh sebab-sebab tertentu pada umumnya belum atau tidak dapat dikuasai.
Makin kecil probable errors dari premis mayor, akan makin besar probable
successes pada kesimpulannya. Sebaliknya, makin besar probable errors
akan makin kecil probable succeses konklusi. Contoh:
·
Premis Mayor : Jika
pada pagi hari, orang merasa panas, pertanda hari akan
hujan.
·
Premis Minor : Pagi hari ini orang-orang merasa panas.
·
Konklusi : Jadi, ada pertanda hari akan hujan.
3. Silogisme alternatif atau memilih salah satu
Argumantasi-argumentasi alternatif merupakan taraf
pengetahuan yang belum pasti, tetapi dalam batas-batas tertentu alternatif
acapkali cukup baik untuk mengadakan eliminasi secara progresif atau untuk
verifikasi. Contoh:
·
Premis mayor : Ia harus memilih merayakan hari raya idul fitri di kampung
atau di Jakarta.
·
Premis Minor : Ia tidak pulang kampung
·
Konklusi : Jadi, ia merayakan hari raya di
Jakarta.
4. Silogisme disjungtif atau melerai
Adalah kombinasi dari ketahuan dan ketidak ketahuan
seperti juga alternatif, tetapi lebih maju daripada alternatif ke arah lebih
tahu yang agak pasti dan mencapai konklusi dengan apa yang diketahui yang
disisipkan dalam premis minor.
·
Premis Mayor : Tidaklah
mungkin, seseorang dalam keadaan
fakir dan miskin akan hidup
bermewah-mewahan.
·
Premis Minor : Ahmad dalam keadaan miskin.
IV. Kelemahan Berpikir Deduktif
Kesimpulan-kesimpulan deduktif dalam
premis mayornya didasarkan pada pandangan
atau dogma tertentu (bersumber dari pandangan agama, filsafat, atau pandangan
seseorang yang dikenal memiliki otoritas, seperti para pendeta, pemimpin atau
tokoh masyarakat, orang arif, bijaksana, dan sebagainya). Dalam hubungan ini,
sepanjang premis mayornya benar, memang benar juga kesimpulan deduktifnya. Yang
menjadi soal adalah: Bagaimana peneliti mengetahui benar salahnya premis mayor?
Di sinilah letak masalah besar dan menjadi titik lemah dari silogisme atau
metode deduktif Aristoteles. Karena pandangan atau dogma yang menjadi dasar
berpijak, tak ingin digoyahkan kebenarannya, maka pengetahuan baru yang
diperoleh manusia (hasil kesimpulan deduktifnya) akan senantiasa
“berputar-putar” pada pandangan atau dogma yang dianut serta akan dengan sendirinya
membatasi gerak laju akumulasi dan kebenaran pengetahuan manusia. [6]
Demikian pula, walaupun berpikir deduktif
merupakan alat yang sangat bermanfaat dalam cara berpikir dan untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang penting, namun cara berpikir ini tidak terlepas dari
kelemahan-kelemahan tertentu. Deduksi menyandarkan diri pada kata-kata. Kita
tahu bahwa kata-kata itu tidak sama betul-betul artinya untuk tiap-tiap orang dan
untuk waktu yang berbeda-beda. Misalnya saja istilah cinta perdamaian atau negara
demokrasi, buat beberapa orang dalam satu masyarakatpun mungkin sekali
mempunyai makna yang bermacam-macam. Apalagi untuk orang-orang dari masyarakat
yang berbeda-beda. Belum lagi pengertian orang akan istilah-istilah pada zaman
yang berlainan.
Khususnya silogisme kategorik,
mempunyai kelemahan serius sebagai alat untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan
baru. Dengan premis mayor yang sudah dianggap menjadi pengetahuan yang pasti, maka
konsekuensi dari silogisme kategorik pada dasarnya tidak menawarkan pengetahuan
baru. Jika ada pengetahuan baru yang diperoleh dengan jalan silogisme jenis ini
pengetahuan itu tidak lain adalah bahwa suatu peristiwa khusus termasuk dalam
golongan kelas yang disebutkan dalam premis mayor. Akan tetapi karena pada
silogisme kategorik premis minor itu sudah diketahui (tidak dipersoalkan), maka
konklusipun sudah dengan sendirinya tidak dapat lain daripada seperti apa yang
dikemukakan dalam premis mayor. Oleh karena itu, untuk suatu research
yang bermaksud menemukan kebenaran-kebenaran baru, deduksi ini bukan alat yang
paling cocok. [7]
BERPIKIR DEDUKTIF
Oleh
NITA ZAKIYAH
NIM: 104021000743
Jurusan Bahasa dan
Sastra Arab
Fakultas Adab dan
Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
1427 H/2006 M.
|
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Adi, Kamus Praktis Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit
Kartika, Cet.ke-1.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi,
1997, cet.ke-29, Jilid 1.
Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial,
Jakarta: Rajawali Pres, 1989, cet. ke-1.
|
[2]
Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah
Populer, (Surabaya: Kartika,1999), h. 72.
[3]
Mandarlis, Metode Penelitian, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1989), h.
20.
[4] Sanapiah Faisal, Format-Format
Penelitian Sosial, (Jakarta:
Rajawali Pres,1989) h. 5.
[5] Sutrisno
Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi, 1997), cet. ke-29, Jilid
1, h-h. 40-41.
[6]
Sanapiah Faisal, op.cit. , h-h.
5-6.
[7].Sutrisno
hadi, op.cit., h-h. 37-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar