Minggu, 10 Maret 2013

BERPIKIR DEDUKTIF


BERPIKIR DEDUKTIF

I.       Pengertian
a.       Berpikir
Berpikir adalah proses yang berlangsung di dalam otak, merupakan upaya memecahkan masalah untuk mencapai suatu tujuan. [1]
b.      Deduktif
Ø  Etimologi  : Bersifat deduksi, yaitu penyimpulan atau ringkasan.
Ø  Terminologi  : Penarikan kesimpulan dari yang berbentuk umum ke bentuk khusus, dimana kesimpulan itu dengan sendirinya muncul dari satu atau beberapa premis. [2]

II.    Cara Berpikir Deduktif

1
 
Cara bepikir deduktif menggunakan analisis yang berpijak dari pengertian-pengertian atau fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan persoalan khusus. Cara berpikir untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dan benar harus didasarkan pada dasar-dasar deduksi yang benar, karena kesimpulan sangat tergantung pada dasar-dasar deduksi ini. Menyediakan dasar-dasar deduksi yang benar, merupakan tugas penelitian ilmiah. Seorang peneliti memerlukan ketekunan, ketelitian dan kecermatan dalam mengumpulkan fakta-fakta, cerdas, tajam, dan objektif dalam menganalisa, menginterpretasi, dan menarik kesimpulan agar mendapatkan dasar-dasar deduksi yang benar dan tepat.[3]
Prinsip deduksi adalah apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam suatu kelas atau jenis, berlaku juga sebagai hal yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam kelas atau jenis itu. Jika orang dapat membuktikan bahwa suatu peristiwa termasuk dalam kelas yang dipandang benar, maka secara logik dan otomatik orang dapat menarik kesimpulan bahwa kebenaran yang terdapat dalam kelas itu juga menjadi kebenaran bagi peristiwa yang khusus itu.
Metode deduktif merupakan pendekatan sistematis yang pertama dan tertua, dipelopori oleh Aristoteles pada zaman Yunani kuno, yang dikenal dengan silogisme Aristoteles. Alat untuk mencapai pengetahuan dengan jalan deduksi disebut silogisme (syillogisme dalam bahasa Yunani berarti konklusi). Pada silogisme ini, pengetahuan baru, baik mengenai “dunia alam” maupun “dunia sosial”, diperoleh melalui kesimpulan deduktif. Karena menggunakan kesimpulan deduktif, maka harus ada pengetahuan atau dalil umum (yang oleh Aristoteles disebut premis mayor) yang menjadi sandaran atau dasar berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Dalam silogisme Aristoteles, dari premis mayor ke kesimpulan deduktif (yang merupakan aplikasi atau implikasi logis premis mayor) dijembatani oleh “premis titian”, oleh Aristoteles disebut premis minor. Contoh sederhananya seperti berikut:
Premis Mayor             : Semua manusia tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Premis Minor              : Aristoteles adalah manusia.
Kesimpulan deduktif : Aristoteles juga tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.[4]
Deduksi ini telah menjadi alat yang sangat berguna berabad-abad lamanya  dan sampai sekarang masih besar sekali faedahnya. Dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa, seorang pejabat,para hakim, dokter, tentara, detektif, dan lain sebagainya, kerapkali menyandarkan diri pada argumentasi deduktif. Berpikir deduktif memungkinkan seorang detektif mengatur premis-premis dalam rangkaian yang sedemikian rupa sehingga menjadi bukti-bukti yang konklusif untuk membenarkan suatu konklusi yang khusus.
Hal semacam itu juga dilakukan oleh seorang dokter. Dia menyelidiki penderita yang datang kepadanya, memeriksa seluruh badannya, dan kemudian mencocokkan keadaan penderita itu dengan pengetahuan kedokteran yang sudah dimilikinya. Dari itu dia menentukan atau mengambil konklusi penyakit apa yang diderita oleh pasien tersebut. Jika dokter itu kemudian memberikan pengobatan atau resep, maka dia telah menggambarkan bagaimana hasil dari pengobatan itu.

III. Jenis-Jenis Silogisme

1. Silogisme Kategorik
                  Dalam silogisme kategorik premis mayor mempunyai kebenaran yang mutlak. Hubungan antara premis mayor dan premis minor adalah sedemikian rupa, sehingga secara logik proposisi yang ketiga akan menjadi konsekuensinya. Dengan begitu asalkan orang menerima dua proposisi yang sama, mau tidak mau ia harus menerima proposisi yang ketiga. Contoh:
·   Premis mayor: Semua manusia pasti akan meninggal dunia.
·   Premis minor : Raja adalah seorang manusia           .                      
·   Konklusi         : Jadi, raja juga akan meninggal dunia.                    
2. Silogisme kondisional hipotetik atau bersyarat
                  Dalam silogisme hipotetik, premis mayor tidaklah mengandung kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang dikandung oleh suatu penarikan kesimpulan dari silogisme hipotetik tergantung sekali kepada berapa besarnya kebenaran yang dikandung oleh premis mayornya. Premis biasanya telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan kesalahan (probable errors) yang disebabkan oleh variabilitas gejala yang oleh sebab-sebab tertentu pada umumnya belum atau tidak dapat dikuasai. Makin kecil probable errors dari premis mayor, akan makin besar probable successes pada kesimpulannya. Sebaliknya, makin besar probable errors akan makin kecil probable succeses konklusi. Contoh:
·   Premis Mayor  : Jika  pada pagi hari, orang merasa panas, pertanda hari akan
                                hujan.
·   Premis Minor   : Pagi hari ini orang-orang merasa panas.
·   Konklusi          : Jadi, ada pertanda hari akan hujan.
3. Silogisme alternatif atau memilih salah satu
                  Argumantasi-argumentasi alternatif merupakan taraf pengetahuan yang belum pasti, tetapi dalam batas-batas tertentu alternatif acapkali cukup baik untuk mengadakan eliminasi secara progresif atau untuk verifikasi. Contoh:
·   Premis mayor  : Ia harus memilih merayakan  hari raya idul fitri di kampung
                                atau di Jakarta.
·   Premis Minor   : Ia tidak pulang kampung
·   Konklusi          : Jadi, ia merayakan hari raya di Jakarta.
4. Silogisme disjungtif atau melerai
               Adalah kombinasi dari ketahuan dan ketidak ketahuan seperti juga alternatif, tetapi lebih maju daripada alternatif ke arah lebih tahu yang agak pasti dan mencapai konklusi dengan apa yang diketahui yang disisipkan dalam premis minor.
·   Premis Mayor :        Tidaklah   mungkin,  seseorang  dalam  keadaan  fakir                   dan miskin akan hidup bermewah-mewahan.
·   Premis Minor   :        Ahmad dalam keadaan miskin.
·   Konklusi          :        Jadi, tidak mungkin ia akan hidup bermewah-mewahan.[5]

IV.       Kelemahan Berpikir Deduktif

            Kesimpulan-kesimpulan deduktif dalam premis mayornya didasarkan  pada pandangan atau dogma tertentu (bersumber dari pandangan agama, filsafat, atau pandangan seseorang yang dikenal memiliki otoritas, seperti para pendeta, pemimpin atau tokoh masyarakat, orang arif, bijaksana, dan sebagainya). Dalam hubungan ini, sepanjang premis mayornya benar, memang benar juga kesimpulan deduktifnya. Yang menjadi soal adalah: Bagaimana peneliti mengetahui benar salahnya premis mayor? Di sinilah letak masalah besar dan menjadi titik lemah dari silogisme atau metode deduktif Aristoteles. Karena pandangan atau dogma yang menjadi dasar berpijak, tak ingin digoyahkan kebenarannya, maka pengetahuan baru yang diperoleh manusia (hasil kesimpulan deduktifnya) akan senantiasa “berputar-putar” pada pandangan atau dogma yang dianut serta akan dengan sendirinya membatasi gerak laju akumulasi dan kebenaran pengetahuan manusia. [6]
          Demikian pula, walaupun berpikir deduktif merupakan alat yang sangat bermanfaat dalam cara berpikir dan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang penting, namun cara berpikir ini tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan tertentu. Deduksi menyandarkan diri pada kata-kata. Kita tahu bahwa kata-kata itu tidak sama betul-betul artinya untuk tiap-tiap orang dan untuk waktu yang berbeda-beda. Misalnya saja istilah cinta perdamaian atau negara demokrasi, buat beberapa orang dalam satu masyarakatpun mungkin sekali mempunyai makna yang bermacam-macam. Apalagi untuk orang-orang dari masyarakat yang berbeda-beda. Belum lagi pengertian orang akan istilah-istilah pada zaman yang berlainan.
         Khususnya silogisme kategorik, mempunyai kelemahan serius sebagai alat untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan baru. Dengan premis mayor yang sudah dianggap menjadi pengetahuan yang pasti, maka konsekuensi dari silogisme kategorik pada dasarnya tidak menawarkan pengetahuan baru. Jika ada pengetahuan baru yang diperoleh dengan jalan silogisme jenis ini pengetahuan itu tidak lain adalah bahwa suatu peristiwa khusus termasuk dalam golongan kelas yang disebutkan dalam premis mayor. Akan tetapi karena pada silogisme kategorik premis minor itu sudah diketahui (tidak dipersoalkan), maka konklusipun sudah dengan sendirinya tidak dapat lain daripada seperti apa yang dikemukakan dalam premis mayor. Oleh karena itu, untuk suatu research yang bermaksud menemukan kebenaran-kebenaran baru, deduksi ini bukan alat yang paling cocok. [7]
BERPIKIR DEDUKTIF









Oleh
NITA ZAKIYAH
NIM: 104021000743




Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta
1427 H/2006 M.

 
 


DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Adi, Kamus Praktis Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Kartika, Cet.ke-1.

Mandarlis, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, cet.ke-8.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi, 1997, cet.ke-29, Jilid 1.

Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Pres, 1989, cet. ke-1.


9
 
 


1 Edward De Bono, Mengajar Berpikir, (Jakarta : Erlangga, 1992), h-h. 33-34.
[2] Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Populer, (Surabaya: Kartika,1999), h. 72.
[3] Mandarlis, Metode Penelitian, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1989), h. 20.
[4] Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial,  (Jakarta: Rajawali Pres,1989) h. 5.
[5] Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi, 1997), cet. ke-29, Jilid 1, h-h. 40-41.

[6] Sanapiah Faisal, op.cit. , h-h. 5-6.
[7].Sutrisno hadi, op.cit., h-h. 37-41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar